Meningkatkan Kinerja dengan Coaching bagian 2
Kejelasan Sasaran Coaching
Fokus coaching adalah individu. Itu sebabnya kebutuhan coaching individu berbeda-beda dan tidak bisa diseragamkan seperti halnya menyeragamkan materi training. Supaya coaching berjalan efektif, tentu coach dan coachee perlu menyepakati apa yang menjadi harapan dan sasaran dari proses coaching sehingga perkembangan dan hasilnya bisa didiskusikan, dipantau dan dievaluasi. Hasil riset menunjukkan bahwa sasaran yang jelas akan bisa meningkatkan kinerja 36%.
Salah satu cara yang bisa kita gunakan untuk menentukan sasaran dan kebutuhan coaching adalah menggunakan hasil dari performance management. Inisiatif untuk memula proses coaching dengan asasemen pemetaan kepribadian, nilai-nilai dan kompetensi, serta feedback 360 degree, juga bermanfaat sebagai alat untuk merumuskan kebutuhan pengembangan individu.
Alignment dengan Program Training & Development
Program coaching tidak bisa dilepaskan dari ‘payung’ training & development yang telah berjalan. Coaching juga bukan dimaksudkan menggantikan program training maupun berbagai program pengembangan lain. Seluruh inisiatif training ssemestinya ditindaklanjuti dengan program coaching agar manfaat dan hasil traiing bisa dioptimalkan. Bila mendokumentasikan kegiatan training sudah umum dilakukan oleh divisi SDM, proses coaching tentu akan lebih efektif lagi bila didukung sistem yang membantu pencatatan progres dari proses coaching.
Komitment dari Top Management
Tidak seperti training yang durasinya pendek, program coaching membutuhkan komitmen dalam durasi lebih panjang yaitu 3 – 12 bulan. Seperti halnya program lain, program coaching pun baru bisa berjalan efektif bila manajemen puncak memberi dulungan penuh, mulai dari proses design sampai implementasi.
Hambatan Implementasi Program Coaching
Ketidakcocokan coach dan coachee
Meskipun atasan langsung secara otomatis memiliki peran sebagai coach, namun untuk berbagai kebutuhan khusus, seperti pengembangan leadership, sangat terbuka peluang coaching dilakukan individu lain yang memiliki kompetensi di bidang tertentu. Namun, bila tidak terbangun chemistry antara coach dan coachee, proses coaching cepat atau lambat mendek. Sementara bila expertise dari coachnya tidak kuat, baik keahlian teknis maupun kepiawaian mengelola proses coaching, hal ini pun bisa mengakibatkan krisis kepercayaan dan macetnya proses coaching. Dengan demikian, coach pun perlu diseleksi dan memenuhi berbagai kualitas untuk memainkan perannya. Pemilihan coach – coachee perlu dilakukan dengan serius agar bisa dipasangkan “the right coach to the right coachee”.
Kesulitan Mengukur Hasil
masih jarangnya organisasi mengukur Return On Investment (ROI) atau keberhasilan program coaching, menjadikan coaching kerap kehilangan greget dan kemudian tidak jadi prioritas, bahkan lalu dikesampingkan di tengah kesibukan kerja lain. Bila kita telah memulai menerapkan program coaching, evaluasi dan pengukuran ini, tentu menjadi PR yang tidak boleh diabaikan.
Beberapa organisasi mengadopsi model evaluasi L3 dari Kirkpatrick dalam mengevaluasi implementasi coaching. Ada organiasi yang melakukan survey metode 360 derajat untuk mengukur perubahan perilaku dan perbaikan sikap pasca coaching. Namun demikian, kita memang juga perlu berhati-hati agar tidak bisa memukul rata proses eveluasi. mengingat coachee yang belum mencapai sasaran sesuai harapan akan menjadi demotivasi.
Virtual Coaching
salah satu hambatan dalam proses coaching adalah menemukan waktu dan tempat untuk diskusi tatap muka, di tengah kepadatan jadwal coach maupun coachee. Kita juga sadar betapa tuntutan pekerjaan kerap mempersyaratkan coach dan coachee melakukan traveling. Saat ini dan di masa mendatang, proses coaching tidak lagi harus bergantung pada tatap muka formal, namun dapat dilakukan secara virtual, misalnya menggunakan berbagai aplikasi video-conference yang telah banyak tersedia.
Program berbasisweb-based juga efektif untuk mendokumentasikan kegiatan coaching dan pemantauan pelaksanaan individual development plan. Namun demikian, tetap saja kita perlu menyeimbangkan pendekatan virtual ini ke pendekatan tatap muka yang tradisional mengingat kekuatan utama dalam proses coaching adalah di sisi human-touch dan personalisasinya.
Survey yang dilakukan oleh The AMA/ Institute for Corporate Productivity menunjukkan coaching yang dilakukan oleh sumber eksternal lebih tinggi tingkat keberhasilannya dibanding internal. Ini berarti organisasi juga perlu membuka mata dan selektif menemukan sumber coach eksternal yang betul-betul andal di bidangnya. Terutama untuk menjadi ‘advisor’ bagi posisi top organisasi.
*)Oleh: Sylvina Savitri, Penulis bidang SDM di media massa nasional, Junior Partner di EXPERD
Sumber: Forum Manajemen, Vol XXVI no 04, Juli – Agustus 2012
Gambar: money.163.com
Meningkatkan Kinerja dengan Coaching