Keluarga

Keluarga

Keluarga.
Mencari surga kecil, sebuah tempat di mana orang dan barang hanya memberi kita kesenangan dan kebahagiaan, mungkin itu motif banyak sekali orang tatkala mau berkeluarga. Makanya, syarat seseorang mencari pasangan hidup semuanya menyebut ciri-ciri yang berkaitan dengan kelebihan: “penampilan fisik menarik, anak orang kaya, karirnya bagus, sudah mapan secara ekonomi, sabar, pemaaf, mau mendengar, dan seterusnya.”

Tidak pernah terdengar ada yang mencari pasangan hidup yang sakit-sakitan agar punya kesempatan bisa merawat orang lain. Tidak pernah juga terdengar ada manusia yang mencari keluarga miskin sebagai pasangan hidup, khususnya agar bisa berbagi.

Kendati seleksinya demikian ketat dan hati-hati, tetap saja lembaga keluarga mengalami keruntuhan di mana-mana. Amerika Serikat (AS) sebagai Guru dunia bercerita, tidak saja angka perceraian menaik terus, anak-anak yang tidak berhasil dipayungi keluarga secara baik malah melakukan penembakan membabi buta sehingga jatuh banyak korban tidak berdaya. Sehingga, memunculkan bahan kontemplasi, keluarga adalah tempat di mana manusia menghabiskan sebagian lebih waktunya-bila di sini tidak tersedia payung menyejukkan, lantas di mana masa depan akan menemukan payung kesejukan? Lebih dari itu, tidak mungkin ada kerja yang produktif, inovatif, otentik bila seseorang tidak memiliki tempat istirahat yang penuh dan utuh sebagaimana keluarga.

Untuk menyelamatkan payung sejuk bernama keluarga inilah, kemudian ada Guru yang berpesan lembut: “Love is not only a shared pleasures, but also a shared pain.” Cinta kasih sebagai roda penggerak keluarga, tidak saja berarti berbagi kesenangan, dalam banyak keadaan juga berarti berbagi kesedihan.

Ia yang sudah melewati masa berkeluarga lebih dari seperempat abad mengerti, keluarga adalah tempat berteduh sekaligus tempat bertumbuh yang dalam. Tempat berteduh karena di keluarga kita diterima-menerima, dimaafkan-memaafkan, dilayani-melayani. Serupa kapal yang berlayar jauh kemudian menyisakan banyak lubang bocor, di keluargalah lubang-lubang ini ditambal. Tempat bertumbuh karena di keluarga juga kita mengalami guncangan-guncangan yang tidak kecil.

Sebagian sahabat yang sudah melewati krisis setengah baya mengerti, di titik ini istri mau menopause (nafsu seks menurun drastis, bahkan ada  yang jijik dengan seks), suami mengalami puber kedua (nafsu seks menaik) pada saat yang sama anak-anak sedang nakal-nakalnya. Bila tidak ada yang mengalah dan mengolah, di titik ini keruntuhan keluarga terjadi. Ini yang dimaksud dengan cinta juga berarti berbagi kepedihan.

Pendekatannya sederhana, mengalah juga berkah karena dengan mengalah otot-otot kesabaran dan keikhlasan tambah kuat. Seperti bahan makanan yang perlu diolah, pengalaman juga perlu diolah. Cara mudah mengolah pengalaman adalah melihat sisi berkah dari kejadian.

Ini sebabnya, di kedalaman meditasi ada yang mendengar pesan seperti ini: “Romantic love is full of expectation, genuine love and compassion has no expectation. It is simply who we are”. Bayangan tentang keluarga sebagai surga kecil adalah rangkaian harapan yang tidak realistis. Cinta sesungguhnya tanpa harapan berlebihan, cinta adalah diri kita apa adanya lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Terutama karena di keluarga kita hidup telanjang. Semua kelebihan, kekurangan, naik, turun ketahuan.

Itu sebabnya, di sesi meditasi mendalam kerap disarankan untuk menggunakan keluarga sebagai laboratorium spiritual terdalam. Di tempat kerja, dengan dengan tetangga, apalagi di jalan kita saling mengenal secara amat permukaan serta mudah menghindar bila tidak cocok. Tapi, di keluarga, terutama dengan anak dan orang tua, tidak ada ruang untuk lari. Sehingga menghadirkan hanya satu pilihan: “terima, rawat, sayangi”. Anehnya,  tidak saja yang diterima bertumbuh, yang menerima bahkan bertumbuh lebih jauh.

Makanya, dalam ilmu kesembuhan ada pesan tua yang masih tetap berguna: “accepting without blaming is the true turning point of healing”. Tatkala kita bisa menerima tanpa menyalahkan, titik balik kesembuhan terjadi. Atau, dalam bahasa sebuah doa, bila bisa diubah ubahlah, jika tidak bisa diubah terima sajalah. Dan, yang bisa membedakan mana diterima mana diubah, ia bernama perfect compassion (belas kasih)

Sumber: Infobank, no 408, Maret 2013, oleh Gde Prama.
gambar: imagesstocksphotos.g4guru.com

Tagged with

Leave a Reply

Your email address will not be published.