Ketika Hasil menghianati Usaha – Bagian I
Pilar Hercules, Spanyol.
Lelaki itu tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Matanya nanar menatap garis cakrawala. Ia bingung, putus asa, gundah gulana, masih berpikir dan tak percaya.. Bagaimana mungkin?!! Di siang menjelang sore yang panas itu ia mengutuki dirinya. “Bodoh, bodoh, bodoh!!!” Berkali-kali hal itu ia katakan itu pada dirinya seakan tak memberi ampun akan apa yang terjadi! Di puncak Hercules inilah akhirnya ia terhenti. Perjalanannya yang panjang dan melelahkan ternyata tak memberi hasil apa-apa.
Angin mencoba menerbangkan rambutnya yang panjang tak beraturan, kotor dan berdebu. Jambang dan kumisnya pun setali tiga uang. Sebuah paradoks yang dipertontonkan oleh alam hari itu. Antara keindahan puncak bukit berpemandangan laut lepas yang mempesona dan kegagalan seorang manusia menggapai mimpinya.
Lelaki yang sedang duduk termangu di puncak Pilar Hercules di Spanyol itu adalah Ali Hafed, saudagar kaya raya yang telah berkeliling hampir setengah dunia, berkelana mencari berlian, dengan pesona yang berputar putar di dalam kepalanya setiap hari hingga membuatnya lupa diri.
Tapi sore itu, Ali bukan saudagar kaya lagi. Perbekalannya habis. Uangnya ludes untuk membiayai perjalanan yang dilakukannya. Ia seperti pengembara yang tersesat yang tak tahu arah jalan pulang.
Dengan menarik nafas berat, ia menatap ke kejauhan. Hanya laut yang dilihatnya. Betapa pemandangan itu teduh dan damai, bertolak belakang dengan kondisinya. Dilihatnya air laut di bawah yang membentur-benturkan dirinya ke dinding bukit terjal itu berkali-kali. Sepertinya air laut di bawah memanggil manggil namanya. Ali maju sedikit ke tepi. Ia tersenyum, memenuhi panggilan yang berasal dari beberapa puluh meter dibawahnya. Ia melompat. Puncak itu mendadak sepi.. Tak ada Ali Hafed lagi.
Beberapa masa sebelumnya..
“Pak, ada tamu,” asistennya mendatanginya di kebun ketika ia sedang melakukan pengecekan hasil pemupukan tanaman.
“Siapa?” tanya Ali.
“Pendeta Budha dari Timur.”
Ali terdiam. Ia merasa belum pernah mendengarnya. “Baiklah. Sampaikan sebentar lagi aku kesana,” jawab Ali. “Baik,” jawab asistennya sambil bergegas memacu kudanya kembali.
Siapa yang tak kenal Ali Hafed, saudagar Persia yang kaya raya. Kebunnya berhektar-hektar luasnya di pesisir sungai Indus, Golkonda, India. Nama Ali mahsyur sebagai saudagar yang berhasil mengelola bisnis perkebunan. Tak satu orang pun meragukan keahliannya dalam hal itu. Ia menjadi panutan bagi mereka yang ingin sukses. Ibarat kata, kalau mau sukses, ikuti jalan Ali. The Ali way.
Sebagai orang yang mahsyur, ia banyak dikunjungi tamu dengan berbagai macam kepentingan. Namun hari itu ia kedatangan seorang tamu yang berbeda. Tamu yang bukan sembarang tamu. Ia adalah seorang pendeta Budha yang sudah berumur dari Timur. Melihat usianya, Ali menebak kakek ini sudah berumur di atas 70 tahun. Setelah mengobrol kanan kiri, Pendeta Budha ini kemudian menceritakan kepada Ali Hafed asal muasal dunia diciptakan.
“Dulu..” katanya membuka cerita. “Alam semesta ini diciptakan Tuhan dari segumpal kabut.” Ali menyimak penjelasan pendeta itu dengan takzim. “Lalu Tuhan memasukkan jarinya ke dalam kabut dan memutar-mutar jarinya di dalam kabut itu. Semakin lama semakin kencang hingga akhirnya kabut ini menjadi benda padat, menjadi bola api. Bola api ini kemudian berputar-putar, menelan kabut lain sebelum akhirnya terjatuh dalam derasnya hujan.”
“Lalu, apa yang terjadi setelah itu?” Ali bertanya.
“Hujan yang deras itu mendinginkan permukaannya,” lanjut pendeta. “Namun panas dari dalam bola membuat tekanan menjadi besar sehingga bola itu meledak-ledak.”
Ali beringsut. “Kisah ini menjadi menarik”, ujarnya dalam hati.
“Lemparan materi yang keluar dari dalam bola ini kemudian kita sebut dengan gunung, bukit dan lembah”, kata pendeta tua itu.
Ia kemudian meneruskan, “Jika proses pendinginan materi panas yang terlempar ini cepat sekali, ia akan menjadi batu granit. Yang lebih lambat pendinginannya menjadi tembaga, yang lebih lambat lagi menjadi perak, berikutnya emas.”
“Dan tahukah kamu Ali, yang paling lambat pendinginannya akan menjadi… ber-li-an,” ujar pendeta perlahan dengan wajah serius..
Ketika Hasil menghianati Usaha – Bagian II
“Berlian?” tanya Ali.
Ia belum pernah mendengar kata itu.
“Betul. Berlian itu, berkilau seperti setetes sinar matahari yang dibekukan,” ujar pendeta lagi.
Ali terdiam, ia belum bisa membayangkan apa dan bagaimana itu berlian.
Kemudian pendeta itu melanjutkan. “Ali, tahukah kamu, jika aku mempunyai berlian sebesar ibu jariku, maka aku bisa membeli semua yang ada di daerah ini, termasuk kebun-kebunmu. Dan jika aku mempunyai tambang berlian, maka aku bisa menjadikan anak-anakku raja,” lanjut kakek pendeta itu.
Ali Hafed terdiam. Ia mulai menaksir-naksir harta kekayaan yang ia miliki. Ternyata luas kebunnya dan seluruh kekayaannya jika dijumlahkan tak lebih dari berlian sebesar ibu jari!
Ia tak percaya.
Matanya terbelalak sambil bertanya kepada pendeta itu, “Benarkah itu?!
Benarkah ada benda semahal itu?!”
“Meski aku belum pernah melihat seperti apa berlian itu, tapi yang aku katakan benar anakku. Aku akan tahu itu berlian atau bukan, ketika aku melihatnya,” jawab pendeta.
Dari ekspresi yang ditunjukkan Ali tahu, kakek itu tidak berdusta.
Ali tidak bisa tidur sepanjang malam itu. Ia tiba-tiba merasa menjadi lelaki yang mendadak miskin setelah mendengar cerita kakek tua itu.
“Semua kekayaanku hanya senilai berlian sebesar ibu jari?!” Ia tak percaya ada benda semahal itu sambil melihat ibu jari tangannya. Sebagian dirinya menganggap berlian adalah hal yang mustahil, cerita takhayul. Sebagian dirinya yang lain berontak memanas-manasi pikirannya.
Ayo Ali, carilah berlian itu! Sebelum orang lain menemukannya! Sebelum orang-orang datang mentertawakanmu dan membeli kebunmu hanya dengan sebutir berlian sebesar ibu jari!
“Tak sudi aku!” tiba-tiba Ali melompat dari tempat tidurnya di tengah malam. Sepanjang malam itu ia berjalan mondar-mandir, berpikir keras bagaimana caranya agar bisa menemukan berlian yang diceritakan pendeta tadi.
“Aku harus memiliki tambang berlian!” ujarnya.
“Aku harus menemui pendeta itu sekarang!”
Di pagi buta Ali menemui Pendeta Budha itu. “Pendeta, dimana aku bisa menemukan berlian itu?” tanyanya tanpa basa basi. Ia tidak melihat bahwa pendeta itu masih mengantuk.
“Berlian? Berlian apa?” pendeta itu bertanya sambil mengusap-usap matanya. Ia berusaha melihat dengan jelas dengan siapa ia sedang berbicara.
“Belian yang pendeta ceritakan kemarin…?!”
“Oh…”, ujar pendeta itu setelah tahu yang di depannya adalah Ali. “Carilah, jika engkau ingin mencarinya.”
“Tapi aku tidak tahu dimana tempatnya?”, ujar Ali.
Pendeta itu kemudian berkata, “Jika engkau sunguh-sungguh ingin mencarinya, carilah sungai yang mengalir melalui pasir putih di antara gunung-gunung yang tinggi. Di pasir putih itu kamu akan temukan berlian.”
“Dimana ada sungai seperti itu?“ Ali bertanya.
Pendeta itu tersenyum, “Aku tak tahu anakku. Hanya informasi itu yang aku ketahui. Ada banyak sungai seperti itu.” “Baiklah, aku akan pergi,” ujar Ali.
Tak berapa lama kemudian Ali menjual kebun dan tanah pertanian subur yang ia miliki.
Semuanya.
Ia pergi membawa semua uangnya dengan tekad menemukan berlian dan menjadi lebih kaya dari dirinya yang sekarang.
Mencermati pentunjuk yang diberikan pendeta, tempat pertama yang dikunjungi Ali adalah Mountains of the Moon karena tempat itu persis sama dengan yang digambarkan pendeta itu. Mountains of the moon adalah barisan pengunungan yang panjang dan luas yang ada di Afrika. Selain tidak mudah, perjalanan ke sana menghabiskan waktu dan memakan biaya yang tidak sedikit. Ketika sampai di TKP, Ali merasa akan menjadi orang yang lebih kaya!
Ya! Inilah dia tempatnya!
Sebuah barisan pegunungan yang indah dan ada sungai yang berpasir putih melintas disana.
Perburuan berlian dimulai!
Dengan penuh semangat Ali menyisir setiap sudutnya. Ia masih ingat kata pendeta, “Carilah di sungai yang mengalir melalui pasir putih di antara gunung-gunung yang tinggi.”
Sekarang setiap hari pekerjaan Ali hanya menyusuri sungai. Ia mencari apa yang dikatakan pendeta, “Berlian itu, berkilau seperti setetes sinar matahari yang dibekukan.”
Waktu demi waktu berlalu. Tak ditemukannya berlian itu. Kemudian Ali mendapat kabar bahwa ada gunung di Palestina yang mirip dengan yang digambarkan pendeta. Tanpa pikir panjang ia berangkat ke Palestina. Perjalanan ke Palestina tidak mudah. Ia harus menghadapi panasnya udara dan debu-debu gurun Afrika. Namun Ali bukan Ali jika ia menyerah. Ia terus merangsek maju. Berlian itu terbayang-bayang di pelupuk matanya. “Berkilau seperti setetes sinar matahari yang dibekukan.”
Tapi, tak ditemukan juga berlian itu disana. Dengan semangat yang masih menyala, ia menuju Eropa untuk mencari berliannya. Tak juga ditemukan berlian itu disana…
Maka di sinilah Ali berada setelah berkeliling Eropa. Berdiri sambil menatap ke kejauhan dari puncak Pilar Hercules di Spanyol.
Perbekalannya habis. Uangnya ludes untuk membiayai perjalanan yang dilakukannya. Dihadapannya terbentang lautan luas. Betapa pemandangan itu teduh dan damai, bertolak belakang dengan kondisinya. Dilihatnya air laut di bawah yang membentur-benturkan dirinya ke dinding bukit terjal itu berkali-kali. Ia berhalusinasi. Sepertinya air laut di bawah memanggil manggil namanya. Ali maju sedikit ke tepi. Ia tersenyum, memenuhi panggilan yang berasal dari beberapa puluh meter dibawahnya.
Ia melompat.
Puncak itu mendadak sepi..
Tak ada Ali Hafed lagi.
Ketika Hasil menghianati Usaha – Bagian III
Suatu hari orang yang membeli kebun Ali Hafed, membawa untanya ke sungai di dekat kebun untuk minum. Saat untanya minum dari perairan sungai dangkal itu, ia melihat ada kilatan cahaya dari pasir di dasar sungai. Dia mengambil batu berkilau itu. Setelah diamati tampaknya batu biasa, ia meletakkannya di meja kerjanya di rumah. Meninggalkannya disana.
Tidak diapa-apakan.
Pada suatu ketika, Pendeta Budha tua itu berkunjung ke rumah itu. Ia terkejut karena ia melihat benda yang ciri-cirinya seperti berlian yang pernah diceritakannya kepada Ali.
“Ini berlian! Apakah Ali Hafed sudah kembali?“ tanyanya kepada pemilik rumah.
“Belum, Ali Hafed belum kembali. Dan itu bukan berlian. Itu batu yang saya temukan di sungai dekat kebun,” jawab pembeli kebun Ali.
Pendeta Budha itu mendekatinya sambil berkata, ”Aku memang belum pernah melihat berlian, tapi aku tahu saat aku melihatnya. Ini berlian!“ ujarnya. Kemudian bersama-sama mereka bergegas ke tempat dimana berlian itu ditemukan dan mengaduk pasir putih di dasar dengan jari-jari mereka. Dan mereka menemukan berlian-berlian yang lebih indah!
Pada masanya, Golkonda adalah tambang berlian terbesar yang pernah ada di muka bumi.
Cita-cita Ali untuk memiliki tambang berlian, setidaknya tercapai dari kebun yang pernah dimilikinya, meski pada akhirnya itu milik orang lain.
Contoh berlian ternama yang berasal dari Golkonda adalah Koh-i-noor yang ada di mahkota ratu Inggris dan Orloff yang ada di tongkat kerajaan Rusia38) dan beberapa berlian lain.
Ketika Hasil menghianati Usaha – Pembahasan
Sebelum lebih jauh, kami ingin bertanya terlebih dahulu, menurut Anda apa penyebab kegagalan Ali?
………………………………………………………..
Di beberapa kesempatan, jawabannya bisa beraneka ragam. Bisa yang teknis, hingga non teknis. Yang non teknis seperti: tamak, tidak bersyukur, lupa diri, serakah, dan sejenisnya. Yang teknis seperti: kurang perencanaan, kurang data, dan sejenisnya.
Kisah Ali adalah salah satu kisah yang banyak diceritakan dengan berbagai sudut pandang. Ada yang mengambil sudut pandang mindset, ada yang mengambil sudut pandang action, dan ada yang mengambil sudut pandang eksekusi, seperti buku ini.
Jawaban di atas bisa benar semua, tergantung sudut pandang yang digunakan.
Manajemen eksekusi berfokus pada hasil (result). Hasil adalah konsekuensi yang wajar dari proses yang dilakukan sebelumnya. Karena itu, hasil sangat tergantung dari proses. Tanpa proses yang benar, tidak akan di dapat hasil yang diinginkan.
Pada kasus Ali, hasilnya nihil atau dapat Zonk! Jika merujuk pada buku Execution-nya Larry Bossidi & Ram Charan Ali gagal karena tidak mendapatkan berliannya. Sudah gagal, bunuh diri pula.
Jika dicermati lebih detail, eksekusi mengandung tiga komponen utama:
1.Goal. Adalah hal yang ingin kita capai. Kalau menurut 4DX, jangan banyak-banyak, tapi fokuslah di satu atau dua goal. Namun, goal yang dipilih juga harus mencerminkan hal yang paling penting diantara yang penting. Sehingga bila goal ini tidak tercapai, maka hal lain yang tercapai tidak akan berarti banyak terhadap pengukuran kesuksesan kita. Itulah sebabnya di 4DX goal ini disebut dengan Wildly Important Goals (WIG). Doerr di OKR menyebut WIG sebagai Objectives. Supaya hasil tidak menghianati usaha, maka goalnya harus jelas. Ada yang diukur. Ada batas waktunya.
2.Action. Adalah tindakan yang kita lakukan untuk mencapai goal yang kita tuju. Tanpa action, maka goal akan tidak menjadi apa-apa, sebagus apapun goalnya. Ia hanya akan menjadi pajangan yang mengagumkan, tetapi tidak dieksekusi.
3.Performance Monitoring. Dilakukan untuk memastikan tindakan yang kita lakukan selalu di ukur dan di cek secara rutin apakah sudah sesuai dengan rencana yang kita buat atau belum. Di tahap ini 4DX menyebutnya WIG session, di OKR, ini disebut dengan Check in, di GTD disebut dengan reflect.
Sumber: Win Your Life. Ketika Hasil Menghianati Usaha. Penulis: Iwan Pramana, Indra Budiman, Yanuar Hamzah.