Hati

Hati

Semua yang berawal dari hati akan bermuara pada satu titik: kebaikan.

Hati punya dua pengertian, yaitu hati dalam istilah medis dan hati dalam kajian spiritual-psikologis. Dalam pengertian yang kedua ini hati manusia sangat misterius, sulit dijajagi kedalaman dan keluasannya. Karena kemisteriusannya pula penggunaannya pun sering kali sangat simbolik. Sering kita mendengar ungkapan hatiku hancur’, ‘hatiku terluka’ atau ‘hatiku tercabik-cabik’ yang biasanya dilontarkan oleh orang yang baru ditinggalkan orang yang dikasihinya atau baru mendengar berita duka. Padahal, secara medis hatinya tetap utuh.

Demikian pula ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, hati menjadi heart, yang padahal terjemahan literalnya adalah jantung. Mungkin ini menunjukkan bahwa hati yang sering kali disebutkan dalam konteks ungkapan di atas tadi adalah bagian yang vital bagi hidup manusia seperti vitalnya fungsi jantung bagi kita. Oleh karena itu, menjaga hati menjadi sebuah keniscayaan bagi mereka yang ingin menjaga hidup dan kehidupan.

Sedemikian pentingnya hal ini, maka meski pun dalam berkomunikasi kita melibatkan telinga, mulut, pikiran, mata dan tangan, tapi untuk meminta komunikasi berjalan dua arah, maka ungkapan yang dikeluarkan adalah “mohon per-hati-an” dan bukan “mohon per-telinga-an”. Atau kita perhatikan ungkapan-ungkapan lain yang sifatnya meminta, menyarankan seperti “Harap diper-hati-kan!” atau “Hati-hati di jalan”.

Kita tidak tahu siapa orang pertama yang membawa istilah ‘hati’ ini menjadi khazanah bahasa Indonesia dan dalam komunikasi harian. Dalam bahasa Inggris dan Arab, terdapat beragam kata yang serumpun dengan kata ‘hati’ yang semuanya berkaitan dengan sikap batin, yang selalu ingin mendapatkan rasa damai, kasih, sadar, tulus dan peduli serta cinta. Ketika kita bingung memutuskan suatu perkara, dianjurkan agar mendengarkan ‘hati nurani’ atau ‘suara hati’.

Ketika hendak memilih pasangan hidup, orang tua selalu pesan, “Sing ati-ati milih konco urip mergo kanggo sak lawase”. Artinya, yang hati-hati memilih teman hidup karena untuk selamanya. demikian vitalnya peran hati sehingga Nabi Muhammad bersabda,”Siapapun yang hatinya baik, maka baiklah semua perilakunya.”
dan siapa yang hatinya sakit, maka sakitlah semua amalnya. Jadi, betapa sentralnya peran ‘hati’ dalam kehidupan sehari-hari karena dari situlah terpancar energi kebaikan dan keburukan, dorongan ke arah kemuliaan atau kenistaan.

Karena suara hati selalu mengajak pada kebaikan, maka orang yang bijak mesti mendengarkan kata hatinya sebelum berbicara dan bertindak. Hati nurani adalah guru, pembimbing dan konsultan yang tidak mau berbohong. Terlebih jika ia selalu diterangi dan ditambah energi ilahi, maka akan semakin kuat dan jelas petuahnya agar kita berada di jalan yang benar, yang baik, dan ingin menggembirakan sesama.

Salah satu fungsi ibadah dan doa pada Tuhan adalah untuk membersihkan kotoran-kotoran hati agar tidak mengeras dan berkarat sehingga menutupi masuknya cahaya ilahi untuk menerangi relung hati. Kalau sudah tertutup maka suara nurani bisa kalah, suaranya lemah, perintahnya tidak wibawa. Yang cenderung terjadi, seseorang lalu begitu rentan dipengaruhi dan dikendalikan oleh nafsu rendahan yang hanya mengejar kenikmatan fisik, dengan mengorbankan kebahagiaan moral-spiritual. Kenikmatan fisik durasinya pendek dan semakin tua seseorang maka semakin berkurang kenikmatan fisik yang bisa diraih.

Ketika kesehatan kian menurun, berbagai macam penyakit berdatangan, satu-satu kenikmatan fisik menyatakan “selamat jalan”. Dulu ketika masih berstatus mahasiswa ingin makan enak tidak punya uang, setelah tua, punya jabatan tinggi dan uang berlebih tidak boleh makan enak. Sungguh, kalau saja direnungkan, betapa singkatnya kenikmatan dunia melayani dan memanjakan kita.

Tetapi mereka yang hatinya selalu terjaga, selalu aktif dan senantiasa disirami dengan energi cahaya ilahi maka semakin tua usia seseorang hatinya justru semakin sehat, semakin lapang, dan semakin bijak sehingga kebahagiaan yang akan diraih justru lebih tinggi kualitasnya yaitu kebahagiaan moral-spiritual. Jika kebahagiaan fisik di dapat dengan mengumpulkan dan menumpuk materi, maka kebahagiaan moral-spiritual di dapat justru dengan banyak memberi dan berbagi pada sesama. The more you give, the more you receive.
Tidak ada dermawan jatuh miskin, justru rejekinya semakin berkah dan bertambah. Ketika memberi dengan penuh ikhlas, sesungguhnya seseorang tengah menabung dengan bunga berlipat ganda sebagaimana dijanjikan Tuhan.

Jadi, menjalani hidup mesti ‘hati-hati’. Mesti didengarkan suara hati yang selalu membisikkan kebenaran, kebaikan dan kedamaian. Tentu saja pikiran juga harus digunakan, namun mesti didampingi dengan hati. tanpa didampingi nurani, kecerdasan yang berdampingan dengan nafsu serakah bisa mendorong berbuat sangat kejam, tidak mengenal belas kasih. Pikiran bertugas memecahkan problem teknis, sedangkan hati yang memberikan makna dan arah kehidupan. Misalnya, bagaimana menciptakan mobil, itu tugas pikiran yang kemudian dibantu ketrampilan tangan. Bagaimana menciptakan telepon, itu prestasi kecerdasan nalar.

Tetapi, jika ditanyakan, untuk apa mobil dan telepon diciptakan, hati nurani yang mestinya menjawab. Mobil diciptakan bukan untuk berperang, bukan untuk pamer, bukan untuk menaikkan gengsi, tetapi mempermudah silahturrahmi, mempermudah cari nafkah, mempermudah anak – anak berangkat sekolah yang semua itu bermuara agar hidup ini semakin berkualitas dan bermakna baik di hadapan manusia mau pun Tuhan.

Sadar bahwa yang di mohon adalah per-hati-annya, maka mestinya yang diberikan adalah hati. Menyadari agar semua tugas harus dilaksanakan dengan hati-hati – ingat kata ‘hati’ sampai di ulang dua kali – maka ketika melaksanakan tugas juga harus sepenuh hati. Lagi-lagi betapa dalam bijaknya orang tua yang menyelipkan kata ‘hati’ dalam bahasa Indonesia. Saya belum tahu, apakah bahasa lain memiliki wisdom seindah itu?

Bagaimana bekerja dengan menghadirkan hati? Contoh paling mudah dan nyata adalah sewaktu berdoa. Ketika berdoa, yang mesti hadir dan berbicara adalah hatinya. Peran mulut hanyalah membantu agar hati fokus berdoa. Jadi, ketika yang berdoa hanya mulut, meski hafal dan keras, tetapi hatinya absen, maka itu bukanlah berdoa, melainkan hanya melafalkan kalimat doa. Ketika sembahyang hatinya tidak hadir dan fokus pada Tuhan, secara ekstrem itu bukanlah sembahyang melainkan olah raga menyerupai gerak sembahyang.

Saya sendiri sering merenung, mengapa ada buku yang usianya sudah puluhan dan ratusan tahun masih terasa segar dan menyegarkan ketika di baca? Tapi ada buku yang terasa hambar ketika di baca? Konon katanya, ada orang yang ketika menulis buku disertai kehadiran, ketulusan, dan kecerdasan hati. dari lubuk yang paling dalam mereka ingin berbagi cinta dan ilmu dengan pembacanya. Bahkan ada yang menyucikan diri ketika dalam proses penulisan. Mungkin karya-karya tulis semacam itu yang memang di tulis dari hati dan akan memperoleh respons dari hati pembacanya. Mari kita berhati-hati menjaga hati.

Penulis: Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah, Jakarta
Judul asli : Menjaga Hati
Sumber : Majalah Kick Andy, Maret /XI/2012
pic:hothdwallpapers4u.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.