Bangsa Asia memang tak pernah luput dari perhatian dunia. Baik itu dari sisi yang positif maupun yang negatif. Sisi yang positif sebut saja beberapa negara Asia seperti Cina, Jepang, Singapura yang dengan kekuatan ekonominya mereka diperhitungkan di kelas dunia. Dari sisi negatif, tidak usah jauh jauh lah, tengok saja negeri sendiri yang kaya korupsi. Kali ini, topiknya berbeda. Yaitu dari segi kreativitas.
Menurut Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, bangsa Asia kalah kreatif bila dibandingkan dengan bangsa barat. Hal itu terekam dalam bukunya “Why Asians Are Less Creative Than Westerners” yang menjadi best seller. Buku itu mengemukakan beberapa hal tentang bangsa-bangsa Asia yang telah membuka mata dan pikiran banyak orang:
1. Bagi kebanyakan bangsa Asia – dalam budaya mereka – ukuran sukses yang bisa di dapat dalam hidup adalah dengan mengukur seberapa banyaknya materi yang dimiliki. Bentuknya bisa berupa rumah, mobil, uang, tanah dan harta lain. Sehingga orang akan bangga dan merasa sukses bila bertemu dengan orang lain sambil memamerkan mobil yang dimiliki, jabatan, dan aset aset lain. Passion dalam bekerja kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreativitas kalah populer oleh profesi dokter, pengacara dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk memiliki kekayaan lebih banyak dan lebih cepat.
2. Bagi bangsa Asia jumlah kekayaan yang dimiliki oleh seseorang lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan tersebut. Sehingga tidak aneh bila korupsi banyak terjadi pada bangsa Asia. Apalagi bila ternyata hukum yang ada bisa dibeli dengan hartanya. Hitung punya hitung, masih ada selisih yang sangat besar dari hasil korupsi bila keluar penjara nanti. Toh di penjara pun sama enaknya dengan di hotel.
3. Bagi bangsa Asia, pendidikan atau sekolah itu identik dengan hafalan berbasis “kunci jawaban” dan bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk Perguruan Tinggi semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana pun mahasiswa diharuskan menghafal rumus rumus Imu pasti dan ilmu hitung lainnya dan bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut.
4. Karena berbasis hafalan, murid murid di sekolah di bangsa Asia di jejali sebanyak mungkin pelajaran. Sebanyak mungkin rumus. Mereka dididik menjadi “Jack of all trades, but master of none” (tahu sedikit sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apa pun). Namun positifnya adalah, karena berbasis hafalan banyak pelajar dari bangsa Asia bisa jadi juara dalam Olympiade Fisika dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada bangsa Asia yang memenangkan Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.
6. Bangsa Asia takut salah (KIASI) dan takut kalah (KIASU). Kalau melakukan kesalahan bayangan yang tergambar sangat menyedihkan: di cemooh orang, dikucilkan dan lain lain. Padahal itu belum tentu. Akibat- nya sifat eksploratif dan kreativitas dalam upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai dan sangat rendah. Yang penting kerja aman, tidak ada resiko. Gaji lancar.
7. Bagi kebanyakan bangsa Asia kalau bertanya sama dengan menunjukkan kebodohan yang dimiliki. Karena itu lebih baik diam dan menunduk sambil pura pura menulis hal yang sangat penting yang tidak bisa ditunda sedikit pun kalau ada peluang bertanya dari pada mengacungkan jari telunjuk tinggi tinggi.
Karena bangsa Asia takut salah dan takut dianggap bodoh, maka di sekolah atau dalam seminar atau workshop sangat sedikit peserta yang mau bertanya. Tetapi, setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru atau narasumber untuk meminta penjelasan tambahan.
Solusi bagi bangsa Asia:
Di dalam bukunya Prof.Ng Aik Kwang menawarkan beberapa solusi bagi bangsa Asia sebagai berikut:
1. Menghargai proses. Hasil memang penting, tetapi proses yang benar untuk mencapai hasil itu juga penting. Menghargai orang karena pengabdiannya dan karena apa yang dihasilkan bagi masyarakat banyak lebih baik dari pada menghargai orang karena kekayaannya.
2. Menghentikan pendidikan yang berbasis kunci jawaban. Ini membuat murid tidak kreatif dan tidak mengeksplorasi kemungkinan kemungkinan lain yang bisa terjadi. Membiarkan murid memahami bidang yang paling disukainya juga adalah hal lain yang perlu di dorong. tidak melulu kepada karir karir dan karir tetapi melupakan passion dalam memilih jurusan atau pekerjaan.
3. Jangan menjejali murid dengan banyak hafalan yang rumit dan hampir di semua bidang mata pelajaran?! Ujian menjadi hal yang menakutkan bagi murid karena banyaknya hafalan yang harus masuk di dalam kepala mereka.
4. Belajar membiarkan anak memilih profesi berdasarkan passion (rasa cinta) nya pada bidang itu. Dan bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang dan prestise. Kecuali kalau memang si anak cita citanya ke arah sana.
5. Mengajarkan kepada anak anak atau murid untuk berani bertanya. Ini adalah latihan dasar untuk berani mengambil resiko. Berani menghadapi wajah wajah datar yang menatap seperti bertanya,”Masa gitu aja gak tahu?” Padahal belum tentu mereka juga tahu.
6. Guru adalah fasilitator dan bukan dewa yang harus tahu segalanya. Sebelum menjawab lebih baik pertanyaan di lempar ulang ke kelas untuk memberi kesempatan menjawab bagi yang lain. Kalau ada berani menjawab, bagus. Kalau tidak ada barulah guru turun tangan. Kalau guru tidak dapat menjawab juga, pakailah jawaban yang pernah dipakai Ibundanya Thomas Alfa Edison. “Saya tidak tahu jawabannya, tapi kita bersama-sama akan mencari orang yang dapat menjawabnya.” Itu lebih elegan.
7. Passion manusia adalah anugerah Tuhan. Sebagai orang tua kita bertanggung-jawab untuk mengarahkan anak kita untuk menemukan passionnya dan mensupportnya.
Mudah-mudahan dengan begitu bangsa asia bisa memiliki generasi penerus, anak-anak dan cucu yang kreatif, inovatif tapi juga memiliki integritas dan idealisme tinggi tanpa korupsi.
Sumber: Prof. Ng Aik Kwang, Why Asians Are Less Creative Than Westerners.
gambar: sneakerfreaker.com