Trik Dagang Orang Tionghoa
Pada Dasarnya Way of Life
Jika membidik target orang Tionghoa, bukan berarti orang suku lain tidak bercita-cita menjadi kaya. Namun kenyataan ini menunjukkan bahwa orang Tionghoa memang dididik untuk mengejar kekayaan dan kemakmuran material, meskipun tidak sepenuhnya meninggalkan pemahaman kekayaan spiritual dan budi pekerti.
Tionghoa pada umumnya menyadari bahwa memiliki uang itu penting, walaupun tak mengabaikan artikulasi spiritual dan sosial.
Hampir segala sesuatu di pahami dapat di ukur berdasarkan nilai uang. Bila orang Tionghoa berdoa meminta sesuatu, maka biasanya urutan pertamanya adalah meminta rezeki, baru kemudian kesehatan yang baik dan lain-lain. Dengan pedoman falsafah demikian, tak heran orang Tionghoa sukses dalam ukuran kebendaan yang memang mereka usahakan raih terlebih dahulu dalam semangat bersyukur dan berbagi.
Tak ada keberhasilan tanpa kerja keras. Ini falsafah berlaku bagi siapa saja, bukan apa yang eksklusif di anut orang Tionghoa. Perkaranya sekeras apa yang disebut kerja keras itu. Dalam hitungan satuan waktu orang yang bekerja keras juga bekerja lebih lama daripada orang lain. Rata-rata orang Tionghoa yang sukses bekerja lebih dari 8 jam sehari semalam. Tak jarang mereka bekerja sampai larut malam dan mengurangi waktu istirahat atau rekreasinya.
Orang Tionghoa setelah punya modal antara lain selalu membeli bahan lebih banyak sehingga memperoleh harga lebih murah. Dibekali keahlian dan pengalaman, biasanya orang Tionghoa pun dapat bekerja relatif rapi serta efisien. Semua ini pada gilirannya bisa menghasilkan laba lebih besar.
Orang Tionghoa suka bekerja guna mempersiapkan kebutuhan hari ini sekaligus esok hari, sehingga tidak berhenti bila belum mendapatkan hasil lebih untuk jatah besok.Mereka terbiasa memforsir diri sehingga mengabaikan waktu istirahat. Banyak lagi macam pekerjaan lain yang siap diterima orang Tionghoa apabila orang lain menolak mengerjakannya.
Perhatikan bahwa makanan pendamping, yang dimaksudkan sebagai lauk-pauk, khas Tionghoa zaman dulu bercita rasa sangat asin,sangat asam, atau sangat manis. Selain bertujuan mengawetkan makanan, garam, asam atau gula berlebihan yang di olah ke dalam makanan tersebut sekaligus bertujuan mendukung falsafah hidup hemat, yaitu memaksa agar mencicipi makanan pendamping tersebut bersama nasi atau bubur sedikit demi sedikit.
Bubur merupakan makanan andalan orang Tionghoa. Ternyata lahirnya bubur pun pada awalnya merupakan perwujudan upaya penghematan, yaitu memasak nasi dengan memperbanyak air.
Generasi dulu lebih pandai berhemat daripada generasi sekarang. Ini harus di akui. Tidak perlu mencari perbandingan jauh-jauh. Lihat saja kenyataan bahwa orang tua kita sendiri mempunyai pakaian yang jauh lebih sedikit daripada yang dimiliki anaknya kini. Padahal sebelum anaknya mandiri, merekalah yang mencari uang dan oleh karenanya berhak menggunakannya untuk apa saja sesuka mereka. Apa yang di punyai hari ini adalah hasil berhemat kemarin.
Menjadi kaya atau tidak pada akhirnya, orang Tionghoa tetap dididik agar berhemat, teristimewa berhemat demi diri sendiri dan keluarga. Logikanya tak ada gunanya mencari lebih kalau kemudian juga berbelanja lebih. Mungkin lebih bijaksana bekerja sebentar dan makan sedikit daripada membanting tulang tetapi boros.
Bagi orang Tionghoa, berhematpun bermakna memupuk modal demi membesarkan usaha. Tak heran banyak usaha orang Tionghoa cepat tumbuh. Terpujinya, setelah menjadi kayapun, banyak orang Tionghoa terbiasa hidup hemat, terlebih-lebih mereka yang pernah mengalami hidup susah. Begitulah.
Jika suatu generasi tak berusaha berhemat, generasi berikutnya terpaksa berjuang lebih keras, dan sebaliknya, bila satu generasi telah berjuang keras, generasi berikutnya diharapkan terbantu serta tak perlu lagi berjuang mati-matian.
Sumber: Trik Dagang orang Tionghoa, Syafaruddin Usman, Penerbit Cakrawala, 2010
gambar:en.wikipedia.org
Trik Dagang Orang Tionghoa