Sebelum diceritakan seorang supir yang berbicara tentang kompetensi, terlebih dulu dibahas sedikit arti kata ijazah dan arti kata kompetensi.
Kata ijazah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang daring (online) dijelaskan begini: ijazah/ija·zah/ n 1 surat tanda tamat belajar; sijil; 2 izin yang diberikan oleh guru kepada muridnya untuk mengajarkan ilmu yang diperoleh si murid dari gurunya.
Kamus yang sama itu (KBBI) menjelaskan sebagian arti kata kompetensi seperti berikut ini: kompetensi/kom·pe·ten·si/ /kompeténsi/ n 1 kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu); 2 Ling kemampuan menguasai gramatika suatu bahasa secara abstrak atau batiniah.
Penjelasan itu mendekati penjelasan oleh pakar manajemen, sebagaimana dijelaskan berikut ini (yaitu dari Dr David Griffiths):
- Kompetensi (dari kata competence) seringkali sebagai persyaratan dasar, yang menjadi semacam paspor, boleh tidaknya seseorang melakukan sebuah pekerjaan atau profesi seperti akuntan yang perlu sertifikasi Akuntan Publik. Di mana “apa yang diketahui dan dikuasai” seseorang disahkan melalui proses kualifikasi atau pengalaman. (Competence is often the basic requirement, the passport, to a job or profession [g. an accountancy qualification, such as Chartered Accountant or Certified Public Accountant], where “what” is known is validated via qualifications or experience.)
- Kompetensi (dari kata competency) lebih bersifat abstrak dan sulit dilihat. Perhatikan bagaimana orang melakukan apa yang mereka lakukan. Hal yang menarik dilihat di sini adalah keterampilan seperti kepemimpinan, komunikasi, pengambilan keputusan, jejaring, dan berpikir kritis. [Competency is more subtle and hard to see; think about “how” people do the things they do. Here people become interested in skills such as leadership, communication, decision-making, networking and critical thinking.]
Dalam hal pekerjaan supir, ijazah ke-supir-annya adalah SIM A, karena SIM A itu berfungsi sebagai “surat” tanda tamat belajar menyetir; meskipun belajarnya mungkin secara pribadi dengan orang tua atau tetangga atau teman.
Sekaligus SIM A itu berfungsi sebagai sertifikasi bahwa pemegangnya memiliki kompetensi menyetir mobil(dalam arti 1 di atas).
Di luar soal surat dan sertifikat itu, kompetensi si supir bakal terlihat dan teruji manakala dia mengendarai mobilnya. Haluskah cara membawanya? Muluskah? Nyamankah para penumpang ketika bepergian bersamanya? Tahukah dia jalan mana yang paling efisien? Kesemua pertanyaan ini menandakan kompetensi seorang supir itu tak terlihat sampai dia benar membuktikan di lapangan.
Suatu saat penulis menumpang grabcar. Supirnya bernama Muh. Ito berbaju warna hitam. Karena tampak dari tempat duduk saya di belakang seperti seragam, iseng saya bertanya.
Saya: “Ini seragam grabcar?”
Muh. Ito: “Bukan pak. Ini dulu waktu kerja di Trans TV.”
S: “Oh pernah jadi supir di Trans TV?”
MI: “Jadi driver.”
Saya pun iseng meledek: “Memang beda supir sama driver?”
MI: “Ya bedalah pak. Kalau supir kan bisa nyupirin bajaj. Driver mah pasti mobil.”
S: “Hahahahaha…. Benar juga.”
Tentu saja saya harus membenarkan apa yang dia anggap benar. Saya merasa harus bertanya pendidikannya. Sebab penjelasannya seperti itu bisa jadi ada kaitan dengan pendidikannya. Orang yang berpendidikan baik akan cepat paham pertanyaan saya yang bersifat ngeledek karena supir itu ya driver, driver itu ya supir. Namun, seseorang dengan pendidikan sekolah yang terbatas mungkin saja mempunyai pengertiannya sendiri. Saya pun mulai bertanya soal asal lebih dulu.
S: “Mas Ito asli mana?”
MI: “Majalengka.”
S: “Kalau sekolahnya, sekolah apa dulu?”
MI: “Saya SD.”
S: “Dari SD sambung ke sekolah apa?”
MI: “Cuma SD. Ga nerusin ke mana-mana.”
S: “Serius?”
MI: “Iyya. Dulu waktu mau kerja di Trans TV saya diwawancarai. Pas dibilang ijazahnya kok gini. Saya bilang, memang kenapa pak. Kata dia, soalnya di sini minimal SMA. Saya bilang memangnya jadi driver beda pak antara yang ijazah SD sama yang ijazah SMA. Saya tanya memangnya kalau yang ijazah SMA tahu jalan? Boleh diadu sama saya. Saya jadi supir taksi tahunan, saya tahu jalan. Yang wawancarai saya saya tantang juga. Saya bilang bapak ijazahnya apa, Sarjana? Ayo pak kita adu tahu mana saya sama bapak soal jalan. Akhirnya saya diterima pak…hahaha.”
S: “Hahahaha…. bener bener bener.”
Meski hanya berijazah SD, Muh. Ito berbicara kompetensi saat dia mengatakan “tahu jalan.” Dia tidak sadar bahwa ketika memberi tantangan kepada pewawancaranya, sesungguhnya dia mengajak diskusi soal kompetensi. Pewawancara bicara ijazah sekolah padahal kompetensi menyupir seharusnya dibuktikan dengan “ijazah” SIM A dan dibuktikan dengan cerita rute dari kantor pewawancara menuju sebuah alamat berjarak 5-10 km yang dia pilih untuk tes.
Pembuktian kompetensi sang supir semestinya pada kedua hal itu. Bahkan jika perlu diuji dengan praktek langsung. Tetapi itu tidak terjadi, karena sang pewawancara tidak punya waktu cukup untuk menguji kompetensi calon-calon jika harus praktek. Dia hanya menyeleksi berdasarkan wawancara saja.
Muh. Ito berhasil diterima bekerja karena dia bisa “membuktikan” bahwa kompetensinyalah yang selayaknya jadi faktor pertimbangan utama, bukan secarik kertas yang berbunyi “ijazah.”