Slogan. Saya baru saja ikut mendesain ulang sejumlah kemasan untuk sebuah perusahaan besar. Program ini jadi bagian kegiatan yang sangat penting. Saat desain kemasan baru hendak diluncurkan ulang ke pasar, kami terlibat perdebatan: apakah setiap produk mutlak memiliki sebuah slogan dibelakangnya.
Slogan memang bisa menjadi alat ampuh. Misalnya bagi kaum politisi. Mereka tak jarang menciptakan slogan untuk menarik simpati pengikutnya. Slogan bisa jadi sihir mujarab. Namun, membuatnya bukanlah kerja mudah.
Hal serupa terjadi di dunia pemasaran. Umumnya hampir tiap perusahaan komunikasi iklan punya ahli sendiri dalam membuat slogan. Namun, paling cuma satu yang hebat dari 10 juta semboyan yang lahir. Tapi, yang satu itu tak jarang begitu hebatnya sehingga mampu menggoyang inspirasi banyak orang. Dan jadi alat komunikasi dahsyat yang tak mudah dilupakan.
Ingat perlengkapan olahraga Nike, “just do it”. Kalimat itu memberi ide besar dan inspirasi kepada begitu banyak anak muda untuk selalu ikut berpatisipasi dan mencetak prestasi. Atau “Siapa takut”, shampoo Clear yang menjadi buah bibir dan jadi contoh dalam hal-hal lain.
Jargon yang pas tak hanya mampu menciptakan komunikasi hebat. Tak jarang membantu posisi sebuah produk secara strategis. “The ultimated driving machine”, kata-kata khas BMW, telah membuat mobil jerman itu diminati kaum profesional sebagai pilihan prestise.
Slogan juga punya sejumlah kelemahan. Pertama, karena dibuat berdasarkan ekspresi bahasa tertentu, tak semuanya mudah diterjemahkan ke dalam bahasa berbeda.Misalnya slogan Coke “always”, atau slogan Sony, “It’s a Sony”, akan sangat sulit kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan harfiahnya mudah, tapi mencari ungkapan yang memberi dampak emosi yang sama tak gampang. Sering, bila diterjemahkan ke dalam bahasa lain, arti sesungguhnya pudar.
Dalam bahasa Cina, ada pepatah bersembunyi “enak dilihat, tapi tak enak di makan”. Tiap kali saya menciptakan slogan untuk seorang klien, pepatah itu saya jadi ukuran. Saya tak mau terjebak membuat hal bombastis tapi jadi bumerang. Inilah yang dialami Richard Gordon, Menteri Pariwisata Filipina, ketika mencari jargon pariwisata yang cocok untuk negerinya.
Promosi pariwisata bukan sesuatu yang remeh. Menurut harian The Asian Wall Street Journal, Singapura, Hongkong dan Thailand tak kurang mengeluarkan US$ 50 juta tiap tahun untuk menjual dirinya sebagai tempat pelancongan.
Untuk memasarkan dirinya itulah, mereka berlomba-lomba membuat jargon yang enak didengar dan populer bagi konsumen. Thailand, misalnya, memiliki “Amazing Thailand”. Filipina tadinya ingin menggunakan “Exciting Philippines”. Namun, politik dalam negerinya belum stabil, sehingga ditakutkan menciptakan kesan terbalik yang negatif.
Filipina merencanakan biaya promosi sangat terbatas, US$ 1 juta untuk tahun pertama dan US$ 3 juta untuk tahun berikutnya. Pilihannya pun menjadi sangat kritis. Kalau slogan isinya emosional dan menarik, biarpun biaya promosinya rendah, diharapkan konsumen tetap mampu mengingatnya.
Untungnya, di Indonesia slogan belum di sensor. Teman saya menceritakan, di Thailand, kita tak bisa membuat sembarangan karena ditakutkan muncul berbagai slogan bombastis yang membahayakan konsumen. Di Indonesia, misalnya kita masih menemukan aneka kalimat dari produk-produk seperti vitamin dan susu, yang memberikan klaim faedah langsung terhadap kecerdasan anak.
Hal ini bisa mengakibatkan salah pemahaman dan menciptakan kerugian bagi konsumen. Sebuah slogan tidak boleh seperti tong kosong yang nyaring bunyinya.
Sumber: Anti Marketing, Kafi Kurnia
gambar: metodomarketing.com