Penghargaan. Tiba-tiba saja saya menjadi sadar bahwa saya adalah abdi Negara, pegawai negeri. Bersama-sama dengan para pegawai, guru besar, dan dosen-dosen UI lainnya, hari senin kemarin saya menerima Satyalencana pengabdian sepuluh tahun (Karya Satya).
Senior-senior saya, sebut saja Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono (Dekan Fakultas Psikologi) atau Prof. Dr. Wahyuning Ramelan (Ketua Program Pascasarjana UI), malah mendapatkan penghargaan pengabdian 30 tahun.
Walaupun sudah mengajar sekitar 16 tahun, saya merasa bahagia dengan penghargaan 10 tahun itu. Rektor saya, Prof. Dr. Usman Chatib Warsa, bahkan tak pernah mendapatkan penghargaan 10 tahun, tapi langsung memperoleh Satyalencana 30 tahun. Semua tersenyum lebar dan senang menerimanya. Piagamnya besar, ditandatangani oleh Ibu Presiden (tanda tangan asli). Ada tanda jasa yang disematkan di dada, terbuat dari perunggu, yang hari itu saya pakai satu harian di baju batik saya.
Dalam ujian promosi doktor siangnya, para undangan menanyakan lencana yang masih melekat di baju saya. Saya hanya mengatakan, ini lencana pengabdian, agar kalian tahu saya ini juga abdi Negara. Pegawai Negara golongan IIID, dengan jabatan Lektor Kepala bergaji Rp 1,4 juta.
Tentu saja orang tahu, tidak mungkin bagi seorang doktor hidup dengan gaji sebesar itu untuk membagi-bagikan pengetahuan di ibu kota. Saya memang punya penghasilan “lain-lain” yang lumayan. Tapi kalau di tengok ke belakang, perjalanan panjang meniti jembatan sebagai seorang PNS memang tidak mudah. Saya memulai pekerjaan saya sebagai asisten di UI dengan honorarium sebesar Rp 30.000,- yang baru saya ambil setelah enam bulan atau setahun sekali. Padahal sebelumnya saya sudah menjadi direktur di sebuah perusahaan dengan fasilitas dan gaji yang terbilang tinggi. Saya masih ingat saat-saat pertama mengabdi di UI. Teman-teman saya mengatakan saya gila. Pada saat puluhan asisten dosen justru keluar dari UI dan bekerja di bank atau lembaga-lembaga keuangan lainnya, saya malah bekerja di UI.
Anehnya pula, saya tak pernah mengeluh. Mungkin karena mertua saya adalah guru dan PNS, ia tak pernah pula menanyakan macam-macam walau anaknya harus ikut bekerja dan tinggal di rumah kontrakan yang sempit dan kadang-kadang kebanjiran. Kami melewati masa-masa sulit sebagai PNS tanpa merasa sulit. Pada saat bersekolah di Amerika pun keluarga kami hidup sederhana. Membeli pakaian di Salvation Army, memungut furniture yang ditinggalkan pemiliknya di dekat dumbster, atau ikut antri di gedung public aid untuk memperoleh tunjangan kesehatan anak juga menjadi hal yang biasa. Hidup kami sebagai PNS terkendali dengan baik, berbeda dengan mahasiswa lain yang di biayai oleh bank-bank pemerintah yang fasilitasnya luar biasa.
Hari minggu kemarin saya juga diminta oleh teman-teman di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia untuk berbicara di depan orangtua mahasiswa baru yang hari itu datang untuk mendengar kebijakan UI serta kewajiban membayar admission fee bagi yang mampu. Saya mengingatkan mereka bahwa admission fee hanya dikenakan pada mereka yang mampu. Faktanya memang hari itu tempat parkir penuh. Saya menduga 80% calon mahasiswa berasal dari keluarga mampu. Saya hanya menyampaikan bahwa fee ini akan dipakai untuk meningkatkan kualitas mengajar untuk anak-anak mereka jua. Mudah-mudahan mereka mengerti sebagian besar asisten di UI masih bergaji di bawah garis kelayakan. Dan adalah tugas kami sebagai pengelola untuk mencarikannya dari berbagai sumber.
Sepulang dari UI saya di daulat oleh anak-anak asuh saya, yang jumlahnya sekitar 300-an di rumah baca yang kami kelola di Desa Jati Murni, untuk mendongeng. Kebetulan rumah baca ini baru saja mendapat kiriman sebuah buku kumpulan cerpen para guru yang diberikan oleh Sdr. Adrian Herlambang (Gramedia Majalah). Saya memilih cerpen yang berjudul “Oemar Bakri”, yang ditulis oleh Fajar Gitarena, seorang guru SD Keputran IX di Jogjakarta. Cerpen itu bercerita tentang seorang yang sudah mengabdi 30 tahun yang masih harus bepergian dengan sepeda motor butut tahun ’70-an plat merah. Motornya sering mogok, dan suatu ketika bannya kempes. Waktu mau ditambal ternyata lubangnya ada tiga, sedangkan tambalannya ada sembilan. Maka Pak Oemar harus beli ban. Tapi ini tanggal tua, uangnya tak ada. Ia terpaksa harus naik bus pergi ke bank. Tapi semua orang yang ditemuinya ternyata muridnya. Ipan supir bus, Amang tukang tambal ban, Ipung kondektur bus, Farida customer service bank, dan seterusnya. Bahkan saat uangnya dijambret ternyata tukang jambretnya juga mantan muridnya. Sama seperti pak polisi yang menangkap adalah muridnya.
Sepuluh tahun kemudian Oemar Bakri menerima SK pensiun. Selesai upacara ternyata di luar sudah banyak orang menunggu. Anak-anak didiknya kini telah menjadi direktur bank, Jenderal polisi, dan sebagainya. Bersama kondektur bus, tukang tambal ban, dan sebagainya mereka menghadiahi Oemar Bakri sebuah mobil kijang biru. Sebuah penghargaan yang tulus yang dikumpulkan oleh ratusan muridnya yang sekarang sudah menjadi “some body”. Tapi yang lebih mengejutkan, Oemar Bakri malah memilih menyerahkan mobil penghargaan itu untuk sekolahnya, bukan untuk dirinya sendiri. Sekolah itu jauh lebih membutuhkan daripada dirinya yang sudah tua dan hidup sendirian.
Bagi banyak orang kota dan para politisi yang tidak matang, uang, “gizi”, “jeroan”, “amplop”, atau apalagi namanya, masih dianggap sebagai penghargaan yang lebih dari segala-galanya. Tetapi bagi sebuah kecintaan profesi, uang atau materi bukanlah segala-galanya. Anda bisa menghadiahi seseorang dengan berbagai cara, termasuk secarik kertas tanda penghargaan yang mengukuhkan aura kecintaannya untuk menjadi semakin bersinar. Dan saat itulah Anda mengukuhkan sesuatu yang sudah lama dicita-citakan oleh manajemen : Semangat kerja dan produktivitas.
Sumber: Change!, Rhenald Kasali, Gramedia Pustaka Utama, 2005
pic: situbondokab.go.id
Penghargaan