Pembuat Mobil Listrik Tuxuci, Selo dan Gendhis dalam dilema.
Karya anak bangsa yang bisa membanggakan dunia, belum tentu mendapat tempat di negeri sendiri. Begitulah Ricky Elson, si pembuat mobil listrik yang memilih kembali ke jepang karena mobil listrik buatannya tak kunjung mendapat izin.
JPPN, Surabaya.
“Saya tak bisa lagi menahannya (untuk pulang ke Jepang). Dulu saya bermohon-mohon agar pembuat mobil listrik ini mau kembali ke Indonesia. Ilmunya soal mobil listrik sangat berguna. Tapi ternyata benar, ilmu itu tidak dihargai di negerinya sendiri. Dia masih muda, masa depannya masih panjang. “ Begitulah pernyataan kecewa yang diungkapkan menteri BUMN Dahlan Iskan.
Dahlan memang pantas kecewa. Dialah yang pertama mengajak Ricky pulang ke Indonesia. Pria kelahiran Padang 11 Januari 1980 itu sudah 14 tahun bekerja di Jepang. Dahlan mengajaknya untuk membuat mobil listrik, keahlian Ricky selama bekerja di Jepang. Semangatnya melahirkan mobil masa depan, mobil listrik buatan anak negeri.
“Ricky ini sudah 14 tahun di Jepang. Ia sudah memiliki hak paten internasional mobil listrik disana. Saya merayunya habis-habisan agar mau kembali ke Indonesia. “ kata Dahlan mengenai awal perkenalannya dengan Ricky, pembuat mobil listrik.
Ricky sempat takut dengan resiko gajinya turun dan belum tentu ilmunya dihargai kalau pulang ke Indonesia. “Saya terus yakinkan dia dan memberi seluruh gaji saya tiap bulan untuknya. Saya minta dia membangun mimpi mobil listrik buatan anak Indonesia. Akhirnya dia mau dan kita buat Tuxuci, Selo dan Gendhis,” ujar Dahlan.
Ternyata ketiga mobil ini tak mendapat sambutan baik dari kolega Dahlan di Kemenristek. Padahal untuk membuat mobil listrik, Dahlan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Bahkan untuk memaksa Ricky kembali ke Indonesia, Dahlan sampai rela seluruh gajinya sebagai menteri diberikan pada Ricky.
Ternyata kekhawatiran Ricky terjadi. Ternyata sambutan dalam negeri (soal mobil listrik) tidak baik. Tidak ada kepastian dan tidak ada ketentuan yang jelas. Saya harus minta maaf pada Ricky. Saya bayangkan dulu kalau orang pulang dari luar negeri bisa dimanfaatkan, ternyata tidak, “ tambah Dahlan masih dengan nada kecewa.
Dahlan seolah kehabisa alasan untuk tetap menahan pemuda cerdas itu bertahan di Indonesia. Apalagi hingga saat ini, Kemenristek juga tidak memberikan penjelasan, mengapa izin itu belum dikeluarkan. Padahal mobil listrik buatan Ricky sudah pernah mejeng di acara KTT APEC di Bali.
“Kalau sampai satu atau dua bulan tidak ada kejelasan, saya harus izinkan di (Ricky) pulang ke Jepang. Dia ini anak muda yang cerdas. Masa depannya masih panjang. Saya tidak mau menggantung masa depannya dengan bertahan di Indonesia.”kata Dahlan.
Ricky menempuh pendidikan sarjana hingga program master di Jepang.Ia mengambil ilmu spesifikasi Teknik Mesin di Polytechnic University of Japan. Ia selalu jadi lulusan terbaik hingga dilirik seorang profesor di sana yang merupakan perancang motor di Nidec Corporation. Ricky pun memenuhi tawaran itu. Meski sempat kesulitan, Ricky berhasil beradaptasi. Bahkan, dia jadi andalan di perusahaan tersebut. Banyak pelajaran berharga di dapat Ricky disana. Terutama untuk menumbuhkan semangat kerja. Di perusahaan tersebut kalimat motivasi menjadi cambuk semangat keryawan. Yakni: segera kerjakan, pastikan kerjakan dan kerjakan sampai selesai!
Selain itu, perusahaan-perusahaan di Jepang punya pengertian sendiri bagi tiap jenjang pendidikan. S-1 misalnya. Artinya jenjang ini sekedar tahu bagaimana memecahkan masalah. Sedangkan S-2, bagaimana menemukan masalah dan menyelesaikannya. Terakhir, S-3 adalah bsia membuat masalah dan memecahkannya sendiri.
Berbagai filosofi Negeri Samurai ini rupanya membentuk karakter Ricky menjadi orang yang produktif. Buktinya, enam tahun sejak bekerja di Nidec Corporation, dia berhasil menjadi andalan. Sekitar 80% produk perusahaan ini merupakan karya sang Putra Petir ini. Adapun Nidec Corporation bergerak di bidang elektronik, memproduksi motor presisi alias mikro motor. Selama 14 tahun di Jepang, Ricky telah menemukan belasan teknologi motor penggerak listrik yang sudah dipatenkan oleh Pemerintah Jepang.
Dua tahun lalu, ia diminta Dahlan pulang dan berkarya di tanah air. Bagi Ricky pembuat mobil listrik , permintaan serupa bukan hal baru. Ada beberapa tokoh nasional yang sebelumnya menemui Ricky dan menawarkan untuk bekerja di Indonesia. Dia dijanjikan banyak hal yang barang tentu menggiurkan. Gaji tinggi mulai puluhan hingga ratusan juta rupiah, hingga diberi perusahaan sudah biasa didengarnya. Tapi, dia selalu menolak. Saat Dahlan memintanya, ia mengiyakan. “Yang saya tangkap, pak Dahlan Iskan itu berbeda. Dia tak kasih janji-janji. Hanya berkata,”Sudah cukup Anda kerja di luar negeri. Maukah ikut dengan saya? Kita bersama-sama berbuat untuk Indonesia.”ucap Ricky menirukan ucapan Dahlan saat itu. “Beliau sangat paham, dia minta saya pulang. Saya pun tak tahu kenapa tak menolak padahal yang lain berani menggaji hingga dua kali lipat dari yang saya terima kala itu,”sambungnya.
Dahlan yang mengetahui bahwa tenaga dan pikiran Ricky dihargai sangat tinggi, saat itu mengaku tak bisa memberikan hal serupa. Namun, supaya Ricky mau, tanpa pusing-pusing Dahlan menawarkan gajinya sebulan sebagai menteri BUMN untuk menjadi bayaran Ricky tiap bulan.
Berkat kesamaan visi membangun Indonesia, akhirnya kesepakatan tercapai. Apalagi, dia bertekad mau membalas jasa para guru yang membantunya hingga kuliah bisa ke Jepang. Ricky pun balik ke Indonesia dan memulai proyek mobil listrik Indonesia. Selo dan Gendhis, mobil listrik karya Ricky. Karya anak bangsa itu tak kalah dari mobil sport luar negeri. Padahal durasi pengerjaannya hanya lima bulan. Selo mempunyai kecepatan 250 km per jam sedangkan Gendhis 180 km per jam. “Karena mengejar untuk ditampilkan di APEC, motor dan controllernya masih buatan luar negeri,”sebutnya.
Menurut Ricky pembuat mobil listrik, langkah membuat mobil listrik saat ini sudah tepat. Beberapa waktu kedepan, dunia diprediksi beralih ke kendaraan listrik. Ini kesempatan buat Indonesia untuk memulai industrinya. Bahkan, bukan hanya Indonesia, seluruh negara saat ini turut memproduksi mobil listrik. “Jika tidak sekarang, puluhan tahun lagi akan dipertanyakan apa produksi Indonesia,” ucap Ricky. “Indonesia butuh penggagas. Dari sini diharapkan lahir pengembang mobil listrik lain,” sambungnya.
Terbentur Izin
Namun, mesti mobil listrik Tuxuci, Selo dan Gendhis telah lama selesai, izinnya tak kunjung keluar. Untuk mendapatkan izin ketiga mobil lisrik ini, pada awalnya Dahlan meminta surat kepada Departemen Perhubungan, namun kementrian tersebut tidak bisa memberikan izin. “Akhirnya Kemenhub dan Menristek bicara dan akhirnya urus izin di Menristek. Ini sedang kita urus,” kata Dahlan menjawab pertanyaan wartawan beberapa bulan lalu. Namun seiring berjalannya waktu, izin dari Kemenristek tak ada kejelasan. Padahal Menristek Gusti Muhammad Hatta pernah memuji mobil Selo saat melakukan uji coba. Berbagai carapun sudah ditempuh bekas Dirut PLN ini agar mengantongi izin menggunakan mobil bernama Selo itu. Dari mengirim SMS, telepon, hingga mengirimkan surat pribadi pada Kemenristek. Hanya saja upaya itu hingga kini tak berbuah manis. “Saya sudah kirim surat pribadi, sebagai salah satu orang yang bisa kendarai mobil listrik itu untuk uji coba. Sampai sekarang nggak dibales, saya udah SMS, telepon juga sudah. Jawabannya cuma ‘ya’ saja, tapi tidak dikasih izinnya,” papar Dahlan heran.
Menteri yang ogah pakai pengawalan ini juga bingung, beberapa bus listrik yang juga masih nangkring di kemenristek masih kesulitan keluar izinnya. Padahal secara tak langsung, bus-bus listrik itu sudah melewati jarak jauh dari Jakarta-Bandung-Yogya-Jakarta. “Kalau mobil listrik warna hijau waktu itu pernah saya kendarai sendiri sampai 1000 km. Maksud saya gitu, kalau saya pakai dulu terus baru dikritik apanya saja yang kurang, tapi ini mau dipakai nggak bisa, sesal mantan dirut PLN ini. Karena terbentur izin inilah akhirnya yang membuat Ricky Elson berencana kembali ke Jepang. Bukan karena ilmunya tak dihargai.
Ricky beralasan, pimpinan tempatnya bekerja di Jepang, memang terus menawarinya pulang ke negeri Sakura. Di sana Ricky memang bukan karyawan biasa. Ia menjabat kepala divisi penelitian dan pengembangan teknologi permanen magnet motor dan generator Nidec Corporation, Kyoto, Minamikukuzetonoshiro cho388 Jepang. “Memang atasan saya menelpon dan memberi tenggat waktu sebelum habis April, saya diharapkan bisa kembali ke Jepang. Tapi untuk mengambil keputusan itu, saya masih harus berdiskusi terlebih dahulu dengan pak Dahlan Iskan.” Tawaran kembali ke negeri Sakura memang menjadi dilema tersendiri bagi Ricky. Di satu sisi, ia merasa memiliki tanggung jawab untuk terus mengembangkan ilmu dan dan kemampuannya. Semua itu bisa didapatnya di Jepang, negara yang telah maju teknologinya. Sementara itu di sisi lain, ia sangat mencintai Indonesia, tanah kelahirannya. Hal itu ditunjukkan Ricky dengan berkeliling nusantara memberikan kuliah di berbagai kampus. Ia juga mengembangkan pembangkit listrik di daerah-daerah pedalaman.
Ia kini sedang aktif melakukan penelitian di Ciheras, Tasikmalaya mengenai pembangkit listrik tenaga angin. Bahkan kini kincir angin hasil rancangannya menjadi yang terbaik di dunia untuk kelas 500 watt peak. “Sebenarnya di Indonesia tidak ada yang kurang. Justru kita jauh lebih pintar dibanding negara-negara lainnya. Hanya saja disini kita tidak ada kesatuan visi. Kita tidak bersaing dengan bangsa lain, tapi kita justru bersaing dengan persoalan bangsa sendiri. Saling menjatuhkan dan tidak bisa bersaing sehat. Ini yang membuat kita tertinggal khususnya di bidang teknologi dengan bangsa lainnya”, ujar Ricky, pembuat mobil listrik
Perihal izin mobil listrik yang tak kunjung keluar, ia menilai semuanya masih sesuai koridor. Meski diakui prosedur mobil listrik di Indonesia lebih rumit bila dibandingkan Jepang. “Tapi secara umum saya menilainya masih on the track. Kondisi ini bagi saya bukan suatu keterlambatan. Saya tidak pernah memburu mobil itu harus siap kapan. Karena kalaupun izin keluar hari ini, Indonesia belum siap secara keseluruhan. Mobil listrik yang kita ciptakan belum layak disebut produk, tapi masih sebatas riset,” ujar Ricky. Bila dibandingkan Jepang, mereka sudah memiliki road map yang jelas untuk mengembangkan mobil listrik. Sedangkan di Indonesia, penggunaan mobil listrik masih belum di dukung oleh lembaga riset dan teknologi yang memadai.”Di kita mungkin baru siap untuk 10-20 tahun mendatang karena semuanya mesti disetarakan dulu. Kalaupun izin keluar tapi infrastruktur belum ada, tetapi saja percuma. Meski begitu, soal izin tentunya penting agar bisa lanjut ke tahap berikutnya,” ujar Ricky.
Jika memang tak kecewa, apakah Ricky si pembuat mobil listrik akan tetap akan kembali ke Jepang dan meninggalkan mimpi bersama Dahlan Iskan, untuk mengembangkan mobil listrik asli buatan anak Indonesia? “Saya ini tidak ada apa-apanya. Banyak sekali orang pintar Indonesia yang jauh lebih pintar dari saya. Soal saya ke Jepang atau tidak, itu harus saya diskusikan dulu dengan pak Dahlan, kata Ricky.
Sumber: Batam Pos, Sabtu 12.04.2014
gambar: pojoksatu.id
Pembuat mobil listrik akan pulang ke Jepang