Tuhan Tidak Pernah Benar. Setiap jenjang kedewasaan yang lebih tinggi, demikian pengalaman saya bertutur, seringkali menertawakan jenjang kedewasaan di bawahnya. Ketika baru saja mulai belajar bekerja sebagai seorang sarjana baru di salah satu perusahaan Jepang, kerap kali dalam rapat saya ditertawakan orang karena berbicara dengan jargon-jargon universitas yang asing.
Tatkala baru belajar berbicara di depan umum, tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa muka saya merah ketika didebat orang. Pada saat baru belajar memimpin orang, sejumlah bawahan memberi masukan kalau saya mudah sekali tersinggung. Pada tahapan-tahapan tertentu dalam kehidupan saya sebagai manusia, pernah terjadi Tuhan tidak pernah saya anggap benar.
Ketika belum jadi manajer, memohon ke Tuhan agar jadi manajer. Namun, begitu merasakan beratnya duduk di kursi pimpinan ini, maka Tuhan pun disesalkan. Tatkala naik bis kota sering berdoa agar punya mobil. Saat mobil sudah di tangan, kemudian menggerogoti kantong dengan seluruh kerusakannya, maka salah lagilah Tuhan.
Sekarang, ketika tabungan pengalaman dan kesulitan telah bertambah, rambut sudah mulai memutih, badan dan jiwa mulai lebih tahan bantingan, terlihat jelas, betapa naif dan kekanak-kanakannya saya pernah menjadi manusia.
Yang membuat saya super heran, ketika saya bertemu orang dengan umur yang lebih tua dari saya, tetapi memiliki tingkat kenaifan yang sama dengan saya ketika masih amat muda.
Bekerja dengan orang lain, bahkan termasuk dengan pemilik perusahaan pun, tidak ada yang dinilai benar dan pintar. Setiap orang, di mata orang ini, hanyalah kumpulan manusia yang tidak patut dihargai. Kecuali, tentunya manusia-manusia dengan isi kepala yang sama atau mau berkorban menyesuaikan diri sepenuhnya.
Di salah satu perusahaan yang menjadi klien saya, orang mengenal seorang pimpinan yang diberi stempel Mr. Complain. Semua orang disekitarnya – dari sekretaris hingga bos besar – dikeluhkan begini dan begitu. Dengan saya, Tuhan pun sering di complain. Dari salah profesi, keliru memilih istri, anak-anak yang tidak bisa diurus, sampai dengan pemilik perusahaan yang dia sebut super kampungan. Sebagai hasilnya, ia memiliki koleksi musuh yang demikian banyak, pindah kerja dari satu tempat ke tempat lain, dan yang paling penting memiliki kehidupan yang kering kerontang.
Di mata orang-orang seperti ini, Tuhan senantiasa tidak pernah benar. Sulit sekali bagi manusia jenis ini untuk menerima saja lingkungan dan rezekinya. Yang ada hanyalah keluhan, keluhan dan keluhan.
Dengan sedikit kejernihan, diri kita sebenarnya karunia Tuhan yang paling berharga. Anda dengan hidung, mata, bibir, kepribadian, keterampilan, dan senyuman yang Anda miliki, hanya dimiliki oleh Anda sendiri.
Tukang jahit jarang sekali membuat satu model baju untuk satu orang saja. Arsitek sedikit yang gambarnya diperuntukkan hanya untuk satu orang saja. Kalau pun ada tukang jahit, pabrik mobil dan arsitek yang membuat desain khusus, dengan sangat mudah orang lain bisa menirunya.
Tetapi Tuhan mendesain setiap manusia semuanya dengan keunikan. Bahkan, manusia kembar pun tetap unik. Dan yang paling penting, tidak ada satu pun yang bisa meniru Anda dengan seluruh keunikan Anda. Bayangkan, betapa sulit dan besar energi yang dibutuhkan untuk mendesain sesuatu yang unik dan tidak bisa ditiru siapa pun.
Bercermin dari sini, di samping kita harus berterima kasih kepada Tuhan karena menciptakan keunikan yang tidak ada tiruannya, sudah saatnya untuk mencari cara bagaimana keunikan dalam diri ini bisa dimaksimalkan.
Hidung saya yang tidak mancung ini tentu saja hanya milik saya seorang diri. Dulu ia menjadi sumber rasa minder, namun ketika ada orang yang mengatakan ini penuh keberuntungan, maka berubahlah dia sebagai energi keberhasilan. Orang Bali dengan logat Batak, hanyalah milik saya sorang diri, belakangan justru ini yang membuat pembicaraan saya khas.
Penulisan manajemen yang berkombinasi dengan konsultan, eksekutif dan bercampur dengan sedikit darah seniman, bisa jadi hanya menjadi milik saya seorang diri. Tidak semua orang suka tentunya dengan saya, tetapi inilah saya yang amat saya banggakan dan saya syukuri. Herannya, semakin banyak kebanggaan yang saya syukuri, badan ini menarik saya ke serangkaian kebanggaan yang lebih membanggakan lagi. Bahkan, terhadap satu unsur badan yang sebenarnya tidak berubah –sebagai contoh hidung –dengan meningkatnya rasa syukur, ia tampak lebih menarik dan menarik. Demikian juga dengan istri, anak, mertua, dan rezeki Tuhan lainnya. Mereka bertambah cantik, menarik, dan mendukung sejalan dengan semakin banyaknya rasa syukur.
Kembali ke cerita awal tentang manusia yang kerap menempatkan Tuhan dalam posisi tidak benar, sudah saatnya mungkin kita menerima dan menghargai seluruh keunikan yang hanya milik kita sendiri.
Kalau memiliki rumah, mobil, baju yang hanya di desain khusus untuk kita, tentu saja ia amat membahagiakan dan membanggakan. Demikian juga dengan tubuh dan jiwa ini. Ia hanya di desain khusus untuk kita.
Baik, buruk, cantik, ganteng, menarik, simpatik atau membosankan sekali pun, sebenarnya hanyalah judul dan stempel yang kita berikan ke tubuh unik yang kita bawa ke mana-mana ini. Bedanya, judul ini kemudian tidak hanya mengubah mata Anda, tetapi juga mata orang lain dalam melihat diri Anda sendiri.
Literatur: Gede Prama, Hidup Bahagia Selamanya, Elex Media Komputindo, 2000
gambar: wallpoper.com
Motivasi – Tuhan Tidak Pernah Benar