Sidik menyorongkan kaleng bekas biskuit. Kaleng itu sedikit penyok. Di dalamnya kerupuk yang masih hangat bertumpuk, berdesakan. Di iris tipis potongannya lebar-lebar, warnanya kemerahan. Sekilas itu seperti kerupuk biasa. Namun, ketika sampai di mulut, kress.. renyah, gurih dan manis. Khas rasanya. “Sekarang rasanya satu itu aja, tapi enak kan,” kata Sidik sedikit berpromosi. “Kerupuk ini terbuat dari singkong.”
Di sampingnya, dengan tekun Siti Rahmah memasukkan kerupuk itu ke bungkus-bungkus plastik 100 gram. Siti, yang menderita polio adalah istri Sidik. Saat itu mereka juga dibantu Anshori, lelaki 50 tahun asal Salatiga yang juga penyandang polio. Sidik sibuk ke sana ke mari mengawasi seluruh proses.
Sidiklah yang menggerakkan usaha rumahan kerupuk singkong itu. Mulai dari pembuatan kerupuk di rumahnya di Jalan Mesjid At Taqwa BKKBN Kampung Cimuning Poncol, RT I, RW 5, Kelurahan Cimuning, Kecamatan Mustika Jaya, Bekasi. Hingga pemasaran ke toko toko di Jakarta. Padahal, jika melihat kondisinya, tak mungkin ia memutar roda bisnis itu. Sidik lahir tanpa dua kaki. Sehari-hari ia “berjalan” dengan bagian bawah tubuh dan topangan kedua tangan. Namun demikian, dari sikap, senyum dan ucapan yang mantap, ia seolah tak mengenal rendah diri. “Tuhan bukannya tidak adil. Mungkin Dia punya rencana lain dengan kondisi saya. Karena itu saya PD aja.
Kelahiran
Tak ada tanda-tanda tertentu sewaktu Sang ibu mengandungnya. Hanya saja suatu malam Sang Ibu bermimpi didatangi seorang lelaki tua bersorban putih. “Jangan kaget, anak ini akan membawa berkah,” kata Sidik menirukan lelaki dalam mimpi Ibunya. Kalender menunjukkan 5 Juni 1962 saat dia lahir. Sang Ibu mesti menahan sakit dan melahirkannya di kolong tempat tidur karena situasi sedang genting oleh huru hara politik. Melihat kondisi Sidik, bapak serta ibu tabah dan ikhlas. Menurut Sidik dari enam bersaudara hanya ia yang lahir tanpa kaki.
Sejak lahir rezeki keluarganya terus mengalir. barangkali sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa mimpi ibunya terbukti. Bapaknya dari bekerja sebagai buruh tani diterima bekerja di perusahaan tambang sampai akhirnya bisa membuka warung dan memiliki oplet.
Masa kecilnya terbilang penuh perjuangan. Saat bocah lain sudah bisa berjalan, ia masih berbaring.
Bagian bawah tubuhnya tak kuat menopang dirinya. Tak kurang akal, Sidik menggunakan panci untuk digunakan sebagai landasan penopang tubuhnya. Saban bulan Sidik menghabiskan 5-10 panci. Setelah kuat, Sidik tidak lagi menggunakan panci.
Kondisi tubuh itu membuat Sidik minder. Semangatnya meredup. kalau ada orang ke rumah ia suka sembunyi. Sifat itu pula yang membuat ia ogah masuk sekolah. Namun, sebuah momen tak terlupakan menyalakan kembali semangatnya. kendati pemalu, Sidik tergolong rajin. Saban pagi sejak kecil sejak masih mengendarai panci ia sudah suka berbenah. Menyapu halaman dan menyiangi rumput menjadi tugas hariannya.
Suatu sore, saat menyapu di bawah pohon cengkeh setinggi 50 meter tiba tiba ia ingin memanjat pohon itu. Tanpa ba bi bu lagi Sidik menurutkan keinginannya. tak ada kekhawatiran akan jatuh atau bakal gagal. Dan set set set whuss! ajaib tiba tiba Sidik sudah berada di ketinggian 25 meter di atas tanah. Sampai diatas ia merasa puas. Ia bisa melihat panorama kampungnya. Namun muncul juga pertanyaan buat dirinya sendiri, “Kok bisa?” Ia pun menarik kesimpulan, kalau memanjat pohon saja bisa, kenapa hal lain tidak bisa? Kalau ada kemauan pasti ada jalan.
Kendati fisiknya terbatas Sidik bersekolah di sekolah biasa. Tamat SD ia melanjutkan ke SMP. Setamat SMA pada tahun 1986 setelah beberapa kejadian Sidik bertekad ke Jakarta pada tahun 1989. Dengan modal Rp 10.000 ia berangkat. Ia menuju Sanggar Karya Industri Penyandang Cacat “Swa Prasidya Purna”. Di sini Sidik mendaftar kerja sebagai karyawan grafir gelas dengan bayaran 6.000 per minggu. Disini pula ia bertemu Siti Rahmah yang kemudian dipersuntingnya. Untuk meningkatkan taraf hidup keluarga sepulang kerja ia menjajakan pakaian dari pintu ke pintu hingga maghrib. Ia kemudian kuliah di Institut Manajemen Komputer dan Akuntansi selama tiga tahun dan berhasil mendapatkan Diploma pada tahun 1994. Kemudian ia bekerja sebagai pegawai.
Tak betah jadi pegawai ia memutuskan untuk berwirausaha dengan harapan menciptakan lapangan kerja dan memberi kesempatan kepada penyandang cacat. Kemudian ia mengikuti kursus di Subang. Salah satu materi pelatihan yang menarik perhatiannya adalah membuat kerupuk singkong. Dari bahan baku sampai jadi, proses pembuatannya bisa memakan waktu 1 minggu. Dari awal usaha hingga kini Sidik memasarkan sendiri kerupuknya.
Namun yang menjadi mimpi sejatinya adalah menjadi wirausahawan. Menurutnya, sebuah bangsa bisa maju jika warganya banyak yang menjadi wirausahawan. wirausahawan yang menjadi cita-citanya bukan wirausahawan biasa, melainkan ia yang dapat mengangkat harkat orang-orang seperti dirinya. Ia berniat menjadikan rumahnya sebagai pusat balai latihan kerja bagi orang berkebutuhan khusus. Kalau ada rezeki, ia siap membangun lantai baru dirumahnya untuk tempat tinggal mereka.