Stres di tempat kerja merupakan hal yang hampir setiap hari dialami oleh para pekerja di kota besar. Masyarakat pekerja di kota-kota besar seperti Jakarta sebagian besar merupakan urbanis dan industrialis yang selalu disibukkan dengan deadline penyelesaian tugas, tuntutan peran di tempat kerja yang semakin beragam dan kadang bertentangan satu dengan yang lain, masalah keluarga, beban kerja yang berlebihan, dan masih banyak tantangan lainnya yang membuat stres menjadi suatu faktor yang hampir tidak mungkin untuk dihindari.
Stres di tempat kerja menjadi suatu persoalan yang serius bagi perusahaan karena dapat menurunkan kinerja karyawan dan perusahaan. Sebuah lembaga penelitian terhadap stres di Amerika memperkirakan bahwa stres di tempat kerja menyebabkan para pengusaha di Amerika terpaksa merugi sekitar 300 juta dollar Amerika setiap tahunnya akibat menurunnya produktivitas, serta meningkatnya ketidakhadiran, turnover, konsumsi minuman keras dan biaya pengobatan karyawan.
Di Jepang, pemerintah secara berkala memantau tingkat stres yang terjadi di tempat kerja dan menemukan bahwa jumlah karyawan yang merasakan tingkat stres tinggi dalam menjalani pekerjaan sehari-hari mengalami peningkatan dari 51% di tahun 1982 menjadi hampir dua pertiga dari total populasi pekerja yang ada di tahun 2000. Pada tahun yang hampir sama yaitu sekitar tahun 2000an, lebih dari 6000 perusahaan di Inggris mengeluarkan rata-rata lebih dari 80 ribu dollar Amerika untuk membayar kerusakan yang ditimbulkan akibat stres pada karyawan.
Di Indonesia sendiri, salah satu penelitian yang pernah dilakukan oleh sebuah lembaga manajemen di Jakarta pada tahun 2002 menemukan bahwa krisis ekonomi yang berkepanjangan, PHK, pemotongan gaji, dan keterpaksaan untuk bekerja pada bidang kerja yang tidak sesuai dengan keahlian yang dimiliki merupakan stressor utama pada saat itu.
Konsekuensi Yang Ditimbulkan Stres di Tempat Kerja Pada Individu Pekerja dan Organisasi.
Stres di tempat kerja dapat menimbulkan berbagai konsekuensi pada individu pekerja. Secara fisiologis, pekerja dengan tingkat stres kerja yang tinggi dapat mengalami ganguan fisik seperti: sulit tidur, perubahan pada metabolisme, hilang selera makan, perut mual, tekanan darah dan detak jantung meningkat, gangguan pernapasan, sakit kepala, telapak tangan yang berkeringat, dan gatal-gatal. Secara psikologis, timbul ketidakpuasan kerja yang diikuti dengan adanya tekanan pada emosi seperti cemas, mudah tersinggung atau mudah marah, bad mood, muram, bosan dan sikap kasar. Stres juga bisa berakibat pada perubahan perilaku pekerja, seperti: menurunnya produktivitas, tingkat kehadiran dan komitmen terhadap organisasi. Selain itu juga menghasilkan perilaku seperti merokok atau mengkonsumsi minuman keras secara berlebihan, agresivitas dalam berbicara atau bertindak, melakukan hal-hal yang mengganggu di tempat kerja, atau sering ditemukan tidur tempat kerja. Stres yang dialami secara terus-menerus dan tidak terkendali, bisa menyebabkan terjadinya burn-out yaitu kombinasi kelelahan secara fisik, psikis dan emosi.
Bagi organisasi, stres di tempat kerja dapat berakibat pada rendahnya kepuasan kerja, kurangnya komitmen terhadap organisasi, terhambatnya pembentukan emosi positif, pengambilan keputusan yang buruk, rendahnya kinerja, dan tingginya turnover. Sebagaimana telah dikemukakan di awal tulisan, stres di tempat kerja pada akhirnya bisa menyebabkan terjadinya kerugian finansial pada organisasi yang tidak sedikit jumlahnya.
Faktor Pemicu Terjadinya Stres di Tempat Kerja.
Ada tiga kelompok utama pemicu stres (biasa disebut stressor) di tempat kerja. Kelompok pertama adalah faktor pribadi, seperti: keluarga, ekonomi rumahtangga, dan karakteristik kepribadian. Adanya persoalan pada kehidupan pernikahan, perceraian serta anak-anak yang tidak disiplin dan sulit diatur; penghasilan yang kurang mencukupi pemenuhan kebutuhan rumahtangga dan gaya hidup; serta kepribadian yang tertutup, mudah tersinggung, perfeksionis, sangat berorientasi pada waktu dan hasil, merupakan beberapa contoh faktor pribadi yang dapat menjadi pemicu terjadinya stres di tempat kerja.
Kelompok kedua adalah faktor organisasi, seperti: pekerjaan, peran, dan dinamika hubungan atau interaksi antar karyawan. Pekerjaan yang bersifat rutin, monoton, membutuhkan kecepatan dalam pengerjaan, dengan ruang atau lokasi kerja yang bising dan panas; tuntutan peran yang tidak jelas atau bertentangan dengan sistem nilai yang dianut; serta hubungan kerja antar rekan yang tidak cocok, apalagi bila diwarnai dengan adanya konflik mental maupun fisik, merupakan beberapa contoh faktor organisasi yang dapat menjadi pemicu terjadinya stres di tempat kerja. Selain itu juga budaya perusahaan yang sangat menekankan individualisme dan persaingan, struktur organisasi dengan kontrol dan komando yang ketat, kurangnya penguasaan terhadap teknologi yang digunakan, serta perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat di dalam perusahaan.
Sedangkan kelompok ketiga adalah faktor lingkungan, seperti: ekonomi, politik, dan teknologi. Ketidakpastian kondisi politik, krisis ekonomi negara yang berkepanjangan, serta perkembangan teknologi yang mengancam kelangsungan kerja merupakan beberapa contoh faktor lingkungan yang dapat menjadi pemicu terjadinya stres di tempat kerja.
Strategi Menangani Stres di Tempat Kerja
Kemampuan individu dalam menangani stres di tempat kerja berbeda-beda. Dalam menghadapi stressor yang sama, misalnya deadline waktu penyelesaian suatu tugas, tingkat atau konsekuensi stres yang dialami bisa berbeda. Karyawan yang satu bereaksi terhadap stressor tersebut dengan tetap rileks dan fokus. Sedangkan rekannya terlihat panik dan tegang dalam penyelesaian tugas, serta menjadi mudah marah.
Secara individu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan karyawan untuk mengendalikan stres di tempat kerja. Cara tersebut diantaranya adalah dengan menerapkan manajemen waktu, secara rutin melakukan latihan fisik dan mental seperti olahraga dan relaksasi, serta membina jejaring sosial yang luas. Sedangkan secara organisasi, ada lima strategi yang bisa dilakukan perusahaan untuk membantu karyawan menangani stres di tempat kerja. Kelima strategi adalah: menghilangkan stressor atau pemicu stres, menjauhkan karyawan dari stressor, mengubah persepsi karyawan terhadap stressor, mengendalikan konsekuensi dari stres, dan menyediakan dukungan sosial bagi karyawan yang menghadapi stres.
Contoh praktek manajemen stress yang dilakukan perusahaan terkait dengan kelima strategi di atas adalah: konseling klinis dan personal, uraian pekerjaan yang jelas, jaminan kerja seperti asuransi dan tunjangan kesehatan, jam kerja yang fleksibel, tempat atau sarana bagi karyawan melakukan meditasi, berolahraga atau berkesenian, keterlibatan karyawan dalam proses pengambilan keputusan dan perubahan di perusahaan, serta program-program yang terkait dengan perbaikan kesehatan karyawan.
Kesimpulannya, minimal ada dua pilihan yang dapat diambil dalam menghadapi stress: to fight or flight. Melawan atau menghindar. Pekerja pemenang adalah mereka yang tidak hanya mampu melawan, tetapi juga mampu mengelola stress di tempat kerja dan menjadikannya sebagai suatu tantangan untuk hasilkan kinerja yang lebih tinggi.
Oleh: Eva H. Saragih adalah Manajer Pembinaan & Penempatan Sekolah Tinggi Manajemen PPM.
ppm-manajemen.ac.id
gambar: forwallpaper.com