Kuda Terbang Husain. Husain adalah seorang pemuda miskin. Ia tidak memiliki barang-barang berharga kecuali seekor kuda betina. Kuda itu amat molek dan larinya cepat. Warna bulunya serupa pasir. Jika ia memacunya melintasi gurun pasir, orang-orang dari jarak jauh tidak bisa melihat kudanya. Yang tampak sepintas hanya Husain yang terlihat seperti sedang terbang. Maka, kuda itu lalu dikenal sebagai “kuda terbang”.
Di kawasan lain gurun hiduplah seorang saudagar kaya raya. Namanya Mustafa. Kekayaannya melimpah ruah. Ia memiliki sejumlah kuda dan unta. Pelayannya banyak. Tenda-tendanya pun tersebar di keempat penjuru mata angin.
Pada suatu malam ketika sedang duduk di depan pintu tendanya, Mustafa melihat sesuatu pemandangan aneh. Tampak olehnya seseorang seperti terbang melintasi padang pasir. Karena heran ia bertanya kepada Mahmud salah seorang pelayannya, “Siapa orang itu, yang terbang di tengah gurun pasir ?”
Mahmud menjawab, “Itu Husain, Tuanku. Ia tidak terbang tapi sedang mengendarai kudanya.”
“Mana kudanya?” Tanya Mustafa lebih lanjut.
“Perhatikan baik-baik, Tuanku, “jawab Mahmud. “Warna kudanya mirip benar dengan warna pasir di sekelilingnya.”
Mustafa mengamatinya dengan lebih teliti. Memang sukar melihat kuda ajaib itu. Tetapi ia percaya, dilihat dari cara duduknya, bahwa orang itu benar-benar sedang menunggang kuda. Mustafa mencetus, “Aku harus bisa memiliki kuda itu. Temui pemiliknya, Mahmud. Bayar berapa harga yang ditawarkannya.”
Mahmud pergi menemui Husain.
“Majikanku ingin membeli kudamu. Berapa harga yang kau minta?” Ujarnya setelah mereka bertemu.
Husain menjawab, “Aku tidak hendak menjualnya, Paman.”
“Bagaimana jika kutukar dengan dua ekor kuda betina yang besarnya sama dengan kudamu?”
“Berapa pun Paman hendak membayar aku tidak akan melepasnya,” jawab Husain.
“Bagaimana kalau ditukar dengan seratus keping uang emas?” desak Mahmud.
Husain menggeleng. “Tidak” Ia menjawab singkat.
“Seribu keeping uang emas?”
Husain menjadi jengkel. Jawabnya, “Aku telah berteman dengan kuda betina ini sejak aku lahir. Ia mengenal suaraku. Ia hafal bunyi langkah kakiku. Aku tak bakal berpisah dengannya meski pun Paman menawarkan harga seratus kali lipat tawaran sekarang.”
Mahmud melaporkan kegagalannya membeli kuda Husain. Mustafa menjadi murka. Ia belum pernah gagal jika menginginkan sesuatu. Baginya, uang tidak menjadi soal.
Tidak ada cara lain bagi Mustafa untuk mendapatkan kuda itu kecuali dengan cara licik. Tidak peduli dengan cara kasar, sampai membunuh sekalipun kalau perlu.
Mustafa melaksanakan niatnya seorang diri. Janggutnya di pangkas. Dikenakannya pakaian rombeng. Dengan menunggang kuda ia pergi ke tengah gurun pasir dan duduk tempat biasa yang dilalui Husain dengan kuda terbangnya. Ia halau kudanya dan ia tergolek pura-pura sakit.
Beberapa saat kemudian, lewatlah Husain mengendarai kuda terbangnya. Husain tidak mengenali orang itu. Tetapi ia menghentikan kudanya untuk menengok sebab dirasanya orang itu sangat butuh pertolongan.
Husain turun dari kudanya. Diberinya Mustafa minum, lalu di naikkannya ke kudanya. Husain berjalan dengan sebelah tangan menuntun kudanya, sementara tangan lain memegangi tubuh musafir itu agak tidak jatuh.
Setelah berjalan kira-kira dua kilometer, pengendara itu mencetus, “Teman, tubuhku sudah agak sehat. Lepaskan tanganmu dari tubuhku.”
Husain lalu melepaskan pegangan tangannya dari tubuh musafir itu. Tiba-tiba, sang musafir menendangnya, memukulinya, sampai Husain bergolek tanpa daya. Mustafa lalu membawa lari kuda itu.
Husain bersiul. Kuda betina itu mengenal suara majikannya. Maka, ia menghentikan langkahnya, berbalik mendatangi arah datangnya siulan. Usaha Mustafa untuk memaksa kuda betina itu lari sia-sia.
Kini tahulah Husain siapa sebenarnya musafir yang pura-pura sakit itu. Ia tidak lain adalah Mustafa, saudagar yang ingin membeli kudanya.
Berkatalah Husain. “Kau saudagar terhormat dan kaya raya. Dengan berbagai cara kau pasti bisa merebut kuda ini dari tanganku. Dengan satu cara gagal, kau bisa memakai cara lain. Aku tak berdaya sebab aku miskin dan hina. Tapi, satu hal harus kau ingat. Jika kelak kau hendak memamerkan kuda betina ini pada teman-temanmu, jangan ceritakan cara kau memperolehnya.”
Mustafa heran mendengar perkataan ini.
“Mengapa aku tak boleh menceritakannya?” tanyanya.
“Begini, Tuan,” sahut Husain menjelaskan, “Jika kau katakan aku menemukan kau di tengah gurun pasir sebagai seorang musafir yang sakit, lalu kau rebut kuda betina dariku ketika aku bermaksud menolongmu, maka orang-orang akan mencurigai setiap musafir yang terkena musibah di tengah gurun pasir.
Meskipun para musafir itu benar-benar membutuhkan pertolongan, mereka akan dihindari, takut kejadian seperti yang kualami akan terulang. Mereka pikir bahwa musafir sengsara ini maling-maling atau orang-orang licik macam kau. Nah, bayangkan, betapa akan banyak musafir yang tewas mengenaskan di tengah teriknya gurun pasir.”
Mustafa merenungkan makna kata-kata ini. Ia berkata dalam hati, “Aku telah merebut kuda orang itu. Ia tidak memiliki apa-apa lagi. Kendati begitu, ia masih sempat memikirkan kepentingan orang-orang lain. Dia orang baik, aku orang jahat.”
Mustafa menyesali perbuatannya. Dikembalikannya kuda betina itu kepada Husain, disertai permintaan maaf yang tulus. Ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan buruknya.
“Ambil kembali kudamu, Teman. Aku benar-benar khilaf,” kata Mustafa.”
“Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Mari kita lupakan. Kita awali kehidupan baru,” jawab Husain.
Sejak itu, kedua orang tersebut menjadi sahabat karib.
sumber: Kadir Wong, Kepik Sang Penyelamat, Kuda Terbang Husain
gambar: goodfon.su
Kuda Terbang Husain