Kerja itu harus senang, itulah kata-kata yang saya dapatkan dari seorang direktur perusahaan internasional terkemuka lebih dari 10 tahun yang lalu. Kata-kata itu diucapkannya kepada saya di senja hari sesaat setelah proses wawancara untuk mengisi salah satu lowongan managerial yang ada di perusahaan tersebut.
“To whom I have to make report?” tanya saya.
“To me”, jawab beliau. “Every monday we will have a meeting. Tuesday to Friday, you go to the market,” lanjutnya. Dalam hari saya, “Wah, enak bangeeet kerjanya. Ini yang saya cari. Bebas berekspresi.”
Namun, suasana rame di hati saya berbanding terbalik dengan aura ruangan itu. Sunyi. Orang-orang sudah pada pulang. Kertas itu masih kosong. Ada di depan saya. Sebuah bolpen ada disampingnya. Kata-kata “kerja tu harus senang” yang barusan diucapkannya masih terngiang di telinga saya. Sedari tadi beliau meminta saya mengisi berapa gaji yang saya minta di kertas kosong itu. Salah satu faktor agar kerja menjadi senang adalah gaji selain karir dan kesempatan pengembangan diri, begitu yang saya tahu.
Ini gara-garanya ada lowongan yang diajukan oleh head hunter. Gak tahu dia dapat nama saya dari mana. Tiba-tiba saja minggu lalu ngajak ketemuan dan interview singkat. Maka disinilah saya sore ini, kebingungan mau ngasi angka berapa. Tapi bingungnya tidak hanya disitu. Ini perusahaan kompetitor. Ada konflik di dalam hati saya. Ambil, tidak..ambil, tidak… tinggal seujung jari keputusannya.
Memang ada orang-orang yang nyaman saja keluar masuk perusahaan kompetitor. Persis seperti Jepang jaman dahulu ketika seorang ronin bisa berganti tuan dari satu prefaktur ke prefaktur lainnya. Atau seperti jaman dimana kisah 3 kerajaan -yang gamenya banyak beredar- antara Wu, Shu dan Wei di daratan China. Masalahnya adalah, masih ada ganjalan di hati saya yang bikin menarik nafas jadi berat.
“Could I have some time to reconsider your offer?” tanya saya.
“Ok, take your time,” jawab beliau. Akhirnya episode senja itu selesai juga.
Walaupun tampaknya membingungkan -sebenernya gak bingung-bingung juga- karena bocorannya di perusahaan ini gajinya bisa berlipat-lipat dari pada di tempat saya sekarang. Masalahnya ada ganjelan dalam hati saya yang gak hilang-hilang. Akhirnya saya berkonsultasi ke Ibu Dwi, alumni relation yang ada di Prasetiya Mulya. Bu Dwi adalah salah satu orang yang saya hormati hingga hari ini. Beliau begitu perhatian kepada para alumni walaupun sudah lulus puluhan tahun. Setalah saya sampaikan duduk persoalannya, Bu Dwi berkata, “Iwan, kamu bukan orang seperti itu.”
Hmm.. kata-kata Bu Dwi memantapkan saya. Kalau saya ambil packagenya, memang gajinya besar, tapi ada ganjelan di hati yang gak bisa dibohongi. Ujung-ujungnya, saya tidak akan kerja dengan senang.
Walaupun saya tidak jadi bekerja disana, namun, kata-kata ajaib itu masih saya pegang sampai sekarang: Kerja itu Harus Senang. Kalau ada pekerjaan yang kira-kira membuat saya berkurang senangnya, biasanya akan saya pertimbangkan lagi apakah akan saya kerjakan atau tidak. Mengapa?
Karena hidup cuma sekali. Sekali berarti, setelah itu mati, begitu kata Chairil Anwar.
“Waktu Anda terbatas, jadi jangan habiskan waktu dengan menjalani hidup orang lain. Jangan terperangkap dalam dogma yang membuat Anda terperangkap dalam pemikiran orang lain. jangan membuat opini orang lain membuat Anda kehilangan suara hati Anda. Dan yang paling penting, mempunyai keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisi. Karena entah bagaimana caranya, kata hati sudah tahu kita ingin jadi apa nantinya… -Steve Jobs
Semangat itu juga yang membantu saya kalau lagi dikelas. Bagaimana caranya peserta ini bisa sersan belajarnya. Senang, semangat, dapet ilmu. Itu juga sebabnya, kalau Anda melihat amplop untuk tempat sertifikat yang saya desain (hehe masih jelek desainnya), di depannya ada kata-kata, “Semoga Anda selalu memiliki kehidupan, mencintai apa yang Anda kerjakan, dan mengerjakan apa yang Anda cintai” -Stuart Avery Gold-
gambar: 7-themes.com
Kerja itu Harus Senang