Kepemimpinan Tradisional Suku Aceh

Kepemimpinan Tradisional Suku Aceh

Kepemimpinan Tradisional Suku Aceh. Kepemimpinan merupakan proses dalam mempengaruhi seseorang atau sebuah kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kepemimpinan biasanya dilakukan oleh sebuah kelompok yang akan membuat sebuah tujuan yang direncanakan. Sistem kepemimpinan di Indonesia merupakan hal yang menarik yang dapat memberikan warna sendiri dalam pengembangan nilai dan pola kepemimpinannya. Dalam hal ini, artikel yang akan dibahas adalah Kepemimpinan Tradisional Suku Aceh.

Kepemimpinan di Aceh mengalami pasang dan surut. Di Zaman kerajaan, antara ulama dan umara saling mengisi dalam menjalankan kepemimpinan. Demikian pula pada saat penajajah mulai menancapkan kakinya di aceh. Ulama dan Umara saling tolong menolong dalam memerangi penjajah. Namun penjajah dalam hal ini mengetahui kelemahan antara kedua belah pihak ini yang akhirnya di adu domba. Adu domba inilah yang membuat perpecahan dengan wujud revolusi sosial di aceh, yang mana golongan uleebang dan ulama bermusuhan dan bertempur (Wibowo & Faisal: 2014).

Latar Belakang Sosial Budaya

            Suku Aceh merupakan salah satu suku yang ada di Aceh dengan jumlah penduduk terbanyak. Selain suku Aceh, di daerah ini terdapat pula tujuh suku lain: Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Ketujuh suku tersebut mempunyai sejarah asal usul dan budaya yang berbeda.

            Aceh masih sebagai kerajaan. Aceh adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besar atau biasa disebut dalam istilah Aceh yaitu, Aceh Rayeuk (Kabupaten di Aceh). Sebuah riwayat menyebutkan bahwa berdasarkan asal-usulnya suku bangsa aceh dibagi empat suku. Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Al-Kahar (1530-1552) yaitu, (1) suku tiga ratus, (2) suku imam empat, (3) suku mencukupi batu, (4) suku penyandang. Hingga saat ini suku-suku di atas masih merupakan dasar dari masyarakat Suku Aceh.

            Suku Aceh masih menggunakan sistem kekerabatan dan stratifikasi sosial dalam kehidupan sosialnya. Kerabat terkecil di suku Aceh umumnya adalah keluarga batih, terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak yang belum kawin.  Begitu pula dengan prinsip yang digunakan yaitu menggunakan prinsip bilateral. Prinsip bilateral merupakan perhitungan hubungan kekerabatan, baik melalui garis ayah maupun garis ibu. Sedangkan kelompok kerabat yang lebih besar adalah kawom yaitu garis keturunan melalui garis ayah berasal pada satu orang laki-laki yang menurunkan mereka (Zainuddin, 2007).

Karakteristik Kepemimpinan Aceh

A. Pengaruh Islam dalam Kepemimpinan

            Suku Aceh merupakan penganut islam yang paling kuat. Bagi suku Aceh, ajaran agama merupakan tolak ukur dan barometer atas segala sikap, tindak-tanduk, perbuatan dan penampilan mereka dalam pergaulan sesamanya. Sikap dan pandangan merupakan bentuk penilaian yang selalu dikaitkan dengan ajaran islam (Wibowo & Faisal: 2014).

            Menurut Nya Pha (2000), bahwa seseorang yang telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan yang dituntut atau digariskan dengan adat, maka hal itu berarti ia telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran agamanya dan tidak keluar dari bingkai agama yang mereka anut.

            Oleh karena itu, bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat terdiri atas aspek dalam hadih maja (Wibowo & Faisal: 2014) sebagai berikut:

(1) Hukum Islam dan hukum adat ibarat benda dengan sifatnya, jadi tidak dapat dipisahkan,

(2) Hukum islam dan hukum adat tidak boleh terpisah seperti mata hitam dan mata putih, dan

(3) Adat hukum pengaplisasiannya dalam masyarakat berada di bawah tanggungjawab pemerintahan, sedangkan hukum-hukum Islam berada di bawah tanggungjawab ulama. Adat-istiadat dan upacara protokoler istana berada di bawah tanggungjawab Putro Phang yaitu penguasa-penguasa atau pemimpin setempat.

B. Kepemimpinan Ideal

            Masyarakat Aceh memiliki nilai budaya yang berkaitan dengan kepemimpinan. Menurut Lunde & Wintle (dalam Wibowo & Faisal: 2014) menyebutkan bahwa, nilai budaya tentang prinsip kepemimpinan masyarakat Aceh dapat diperoleh dengan menelaah dan mendalaminya. Masyarakat Aceh mengenal peribahasa yang menggambarkan jati diri/ watak dari masyarakat itu sendiri. Menurut (Ali, dkk: 2009) menyebutkan bahwa, narit maja menduduki tingkat kebenaran nomor tiga dalam masyarakat Aceh, tingkat kebenaran yang pertama adalah wahyu Alloh SWT, selanjutnya tingkat kebeneran kedua adalah Hadist Rasulullah SAW. Setelah itu, nomor tiga adalah narit maja.

            Prinsip kepemimpinan suku Aceh selaras dengan prinsip harmoni kehidupan jagad raya yaitu: hukum alam, fakta empiris, dan kesadaran logis untuk hidup berperaturan. Prinsip- prinsip kepemimpinan itu (Wibowo & Faisal: 2014) sebagai berikut: (1) Masyarakat Aceh tidak mengenal dualism kepemimpinan, (2) pemimpin adalah raja, (3) pemimpin haruslah memperhatikan rakyatnya dalam berbagai bidang, (4) masyarakat Aceh tidak mengkultuskan pemimpin secara membabi buta.

Sumber:

Wibowo, Agus Budi & Faisal. 2014. Kepemimpinan Tradisional di Indonesia: Aceh Besar dan Kajang. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Zainuddin, Muslim. 2007. Syariat Islam di Aceh dalam Dimensi Sosiologis. Banda Aceh: Yayasan Pena dan Ar- Raniry Press.

Nyak Pha, M. Hakim. 2000. Adat dan Penegakkan Disiplin Masyarakat. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.

gambar: Aceh

Penulis: Dinda Ayu Rahardiani

Newer Post
Older Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.