Budaya Inovatif. Budaya yang kondusif untuk inovasi tidak hanya diperlukan oleh perusahaan. Ia juga dibutuhkan secara individu oleh para karyawan dalam organisasi yang ada. Budaya inovasi umumnya digambarkan sebagai hal yang cukup menyenangkan. Namun terlepas dari kenyataan bahwa budaya inovatif diinginkan dan bahwa sebagian besar pemimpin mengklaim memahami apa yang diperlukan, budaya inovatif ini sulit untuk diciptakan dan dipertahankan. Ini membingungkan. Bagaimana mungkin praktik yang tampaknya sangat universal — bahkan menyenangkan — bisa begitu sulit diterapkan?
Alasannya adalah, ada pengertian mendasar dari budaya inovatif yang disalahpahami. Ibarat koin, kita hanya melihat satu sisinya saja, sementara sisi lainnya diabaikan. Toleransi terhadap kegagalan membutuhkan intoleransi terhadap ketidakmampuan. Kesediaan untuk bereksperimen membutuhkan disiplin yang ketat. Keamanan psikologis membutuhkan kenyamanan dengan keterusterangan yang brutal. Kolaborasi harus diimbangi dengan akuntabilitas individu. Dan ketenangan membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Budaya inovatif bersifat paradoks.Karena itu ketegangan yang muncul harus dikelola dengan hati-hati agar upaya untuk menciptakan budaya inovatif berhasil.
1. Toleransi untuk Kegagalan tetapi Tidak Ada Toleransi untuk ketidakmampuan
Tidak dipungkiri bahwa inovasi mengharuskan kita untuk memasuki medan yang tidak pasti dan tidak dikenal. Karena itu toleransi terhadap kegagalan adalah karakteristik penting dari budaya inovatif. bahkan, beberapa inovator besar pun pernah mengalami kegagalan, seperti Apple dengan Apple MobileMe, Google dengan Google Glass dan lain-lain.
Meski mereka bertoleransi pada kegagalan, namun mereka tidak toleran terhadap ketidakmampuan. Mereka menetapkan standar kinerja yang sangat tinggi untuk karyawan mereka. Mereka merekrut talenta terbaik. Mereka mencari ide-ide berisiko, yang kalau pada akhirnya gagal, tidak apa-apa. Namun, jika karyawannya mempunyai kemampuan teknis yang biasa-biasa saja, pemikiran yang dungu, kebiasaan kerja yang buruk, dan lain sebagainya, maka orang tersebut akan ‘dilepaskan’ atau dipindahkan ke peran yang lebih sesuai dengan kemampuan mereka. Steve Jobs terkenal karena memecat siapa pun yang dianggapnya tidak memenuhi dengan tugas yang diberikan. Google yang dikenal memiliki budaya yang sangat ramah karyawan, merupakan salah satu tempat tersulit di dunia untuk mendapatkan pekerjaan (setiap tahun perusahaan mendapatkan lebih dari 2 juta lamaran untuk sekitar 5.000 posisi).
Pasti semua orang tahu bahwa perusahaan harus menetapkan standar kualitas tinggi untuk karyawan mereka. Tetapi sayangnya terlalu banyak organisasi gagal dalam hal ini. Mereka mentolerir ketidakmampuan. Saya mempunyai sebuah cerita di sebuah perusahaan farmasi mengenai hal ini. Saya mengetahui bahwa salah satu kelompok Litbang belum menemukan kandidat obat baru lebih dari satu dekade. Meskipun kinerjanya buruk, para pemimpin senior tidak membuat perubahan nyata dalam manajemen atau personil grup. Faktanya, di bawah sistem kompensasi egaliter perusahaan, para ilmuwan dalam kelompok tersebut telah menerima gaji dan bonus yang kira-kira sama dengan para ilmuwan di unit lain yang jauh lebih produktif. Seorang pemimpin senior menceritakan kepada saya bahwa selain pelanggaran etika, perusahaan jarang memberhentikan karyawan untuk kinerja di bawah standar. Ketika saya bertanya mengapa, dia berkata, “Budaya kita seperti keluarga. Memecat orang bukanlah sesuatu yang nyaman bagi kita.”
2. Mau Bereksperimen tetapi dengan Disiplin yang Sangat Tinggi
Organisasi yang melakukan eksperimen merasa nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Mereka tidak berpura-pura mengetahui semua jawaban yang akan didapat. Mereka bereksperimen untuk belajar.
Contoh bagus dari budaya ini adalah Flagship Pioneering, sebuah perusahaan Cambridge, Massachusetts, yang model bisnisnya menciptakan usaha baru berdasarkan ilmu perintis. Mereka menggunakan tim ilmuwan internal untuk menemukan peluang usaha baru. Semua ide — meski tampaknya tidak masuk akal atau dibuat-buat — ditampung. Menurut pendiri dan CEOnya, Noubar Afeyan, “Pada tahap awal, kami tidak bertanya, “Apakah ini benar?” Atau “Apakah ada data untuk mendukung ide ini?” Kami juga tidak mencari makalah akademismengenai hal itu. Sebaliknya, kKami bertanya pada diri sendiri, “Bagaimana jika ini benar?” Atau “Jika hanya ini benar, apakah itu akan berharga?”. Dari proses ini, tim diharapkan untuk merumuskan hipotesis usaha yang dapat diuji. Kesediaan untuk bereksperimen tidak berarti ibarat melemparkan cat secara acak ke kanvas yang digunakan untuk melukis.
3. Aman Secara Psikologis tetapi Keterusterangan yang Brutal
Aman secara psikologis adalah iklim organisasi di mana individu merasa mereka dapat berbicara dengan jujur dan terbuka tentang masalah tanpa takut akan hukuman / pembalasan yang akan terjadi. Penelitian selama beberapa dekade mengenai konsep ini oleh profesor Harvard Business School Amy Edmondson menunjukkan bahwa lingkungan yang aman secara psikologis tidak hanya membantu organisasi menghindari kesalahan fatal tetapi juga mendukung pembelajaran dan inovasi.
Contoh bagus mengenai hal ini dapat ditemukan dalam pengarahan rencana pertempuran Jenderal Dwight D. Eisenhower kepada perwira tinggi pasukan sekutu tiga minggu sebelum invasi Normandia. Sang jenderal memulai pertemuan dengan mengatakan, “Saya menganggap ini tugas siapa pun. Bagi Anda yang melihat kekurangan dalam rencana ini jangan ragu untuk mengatakannya. Silahkan. Kita di sini untuk mendapatkan hasil terbaik. ”
Eisenhower tidak hanya mengundang kritik atau meminta masukan. Dia benar-benar menuntutnya dan menerapkan aspek sakral lain dari budaya militer: tugas. Seberapa sering Anda menuntut kritik terhadap ide-ide Anda dari bawahan langsung Anda?
4. Kolaborasi tetapi dengan Akuntabilitas Individual
Sistem inovasi yang berfungsi dengan baik membutuhkan informasi, input dan integrasi upaya yang signifikan dari beragam kontributor. Orang-orang yang bekerja dalam budaya kolaboratif memandang mencari bantuan dari kolega sebagai hal yang wajar, terlepas dari apakah memberikan bantuan seperti itu ada dalam uraian pekerjaan formal kolega mereka. Mereka memiliki rasa tanggung jawab kolektif.
Tetapi terlalu sering terjadi, kolaborasi menjadi bercampur aduk dengan konsensus. Dan konsensus adalah racun bagi pengambilan keputusan yang cepat dan menavigasi masalah kompleks yang terkait dengan inovasi transformasional. Pada akhirnya, seseorang harus membuat keputusan dan bertanggung jawab untuk itu. Budaya akuntabilitas adalah budaya di mana individu diharapkan dapat membuat keputusan dan menanggung konsekuensinya.
Dalam meneliti sebuah kasus untuk Harvard Business School, saya mengetahui bahwa ketika Andy Jassy menjadi kepala bisnis komputer cloud Amazon yang masih baru, pada tahun 2003, tantangan terbesarnya adalah mencari tahu layanan apa yang akan dibangun (bukan tugas yang mudah mengingat bahwa layanan cloud adalah hal yang sama sekali baru untuk Amazon — dan dunia pada waktu itu). Jassy segera meminta bantuan dari tim teknologi Amazon, pemimpin bisnis dan teknisnya, dan pengembang eksternal. Umpan balik mereka tentang persyaratan, masalah, dan kebutuhan sangat penting bagi keberhasilan awal peoject ini yang akhirnya menjadi Amazon Web Services. Hari ini bisnis ini bernilai $ 12 miliar. Bagi Jassy, kolaborasi adalah penting untuk keberhasilan suatu program dan yang dia pertanggungjawabkan secara pribadi.
5. Flat but Strong Leadership
Dalam organisasi yang datar (sedikit hirarki), orang diberikan keleluasaan untuk mengambil tindakan, membuat keputusan, dan menyuarakan pendapat mereka. Orang dinilai atas dasar kompetensi, bukan gelar. Organisasi yang datar biasanya dapat merespons dengan lebih cepat terhadap keadaan yang berubah dengan cepat karena pengambilan keputusan didesentralisasi dan lebih dekat ke sumber informasi yang relevan. Mereka cenderung menghasilkan keragaman ide yang lebih kaya daripada ide hierarkis, karena mereka memanfaatkan pengetahuan, keahlian, dan perspektif dari komunitas kontributor yang lebih luas.
Namun, kurangnya hierarki tidak berarti kepemimpinannya menjadi lebih mudah. Secara paradoks, organisasi yang datar membutuhkan kepemimpinan yang lebih kuat daripada yang hierarkis. Amazon dan Google adalah organisasi yang sangat datar di mana karyawan di semua tingkatan menikmati otonomi yang tinggi untuk mengejar ide-ide inovatif. Namun kedua perusahaan memiliki pemimpin yang sangat kuat dan visioner yang mengomunikasikan tujuan dan mengartikulasikan prinsip-prinsip kunci tentang bagaimana organisasi masing-masing harus beroperasi.
Sumber: Gary P. Pisano, The Hard Truth About Innovative Cultures, HBR, January–February 2019 Issue. Gary P. Pisano adalah Profesor Administrasi Bisnis Harry E. Figgie Jr dan dekan senior pengembangan fakultas di Harvard Business School. Dia adalah penulis Creative Construction: The DNA of Sustained Innovation.
gambar: yourstory.com
Budaya Inovatif yang Langgeng