Bermakna Lebih Sehat dari Bahagia. Orang-orang yang bahagia tetapi tidak memiliki makna dalam hidup mereka memiliki pola ekspresi gen yang sama dengan orang-orang yang mengalami kesulitan kronis.
Paling tidak selama sepuluh tahun terakhir, keinginan orang untuk menjadi bahagia telah tumbuh secara pesat. Dalam tiga bulan terakhir, lebih dari 1.000 buku tentang kebahagiaan telah dirilis di Amazon. Diantaranya Happy Money, Happy-People-Pills For All, dan bagi mereka yang baru memulai, Happiness for Beginners.
Salah satu klaim yang muncul di buku-buku seperti ini adalah bahwa kebahagiaan dihubungkan dengan segala hal dalam kehidupan yang baik, misalnya – kesehatan yang baik. Banyak penelitian mencatat hubungan antara pikiran bahagia dan tubuh yang sehat dimana semakin bahagia Anda, maka semakin baiklah kesehatan yang kita miliki. Dalam sebuah overview dari 150 studi tentang topik ini, para peneliti menyimpulkan: “Kesejahteraan berhubungan positif dengan kesehatan dan ketidaksejahteraan menyebabkan kesehatan yang buruk.”
Namun, sebuah studi yang baru saja diterbitkan dalam Prosiding National Academy of Sciences (PNAS) berkata lain. Efek kebahagiaan mungkin tidak sebaik bagi tubuh seperti yang dipikirkan para peneliti. Tentu saja, penting untuk terlebih dahulu mendefinisikan apa itu kebahagiaan.
Beberapa bulan yang lalu saya membuat sebuah tulisan yang berjudul “There’s More to Life Than Being Happy” Ini tentang sebuah studi di bidang psikologi yang menggali makna kebahagiaan bagi seseorang. Secara khusus studi ini mengeksplorasi perbedaan antara kehidupan yang bermakna dan kehidupan yang bahagia. Para peneliti menemukan bahwa kebahagiaan dikaitkan dengan perilaku “mengambil.” Sementara makna dalam hidup dikaitkan dengan perilaku “memberi” tanpa pamrih.
“Kebahagiaan tanpa makna mencirikan kehidupan yang relatif dangkal, mementingkan diri sendiri atau bahkan egois, di mana segala sesuatunya berjalan dengan baik, kebutuhan dan keinginan mudah terpenuhi, dan keterikatan yang sulit atau melelahkan dihindari,” tulis para penulis studi tersebut. “Jika ada, kebahagiaan murni terkait dengan tidak membantu orang lain yang membutuhkan.” Sementara menjadi bahagia adalah tentang merasa baik, makna berasal dari berkontribusi kepada orang lain atau kepada masyarakat dengan cara yang lebih besar. Seperti yang dikatakan Roy Baumeister, salah seorang peneliti, kepada saya “Sebagian yang kita lakukan sebagai manusia adalah menjaga orang lain dan berkontribusi pada orang lain. Ini membuat hidup lebih berarti tetapi itu tidak selalu membuat kita bahagia.”
Studi PNAS baru juga menjelaskan perbedaan antara makna dan kebahagiaan pada tingkat biologis. Barbara Fredrickson, seorang peneliti psikologi emosi positif di University of North Carolina-Chapel Hill dan Steve Cole, seorang peneliti genetika dan psikiatri di UCLA meneliti tingkat kebahagiaan dan makna yang dilaporkan oleh 80 subjek penelitian. Kebahagiaan didefinisikan (seperti pada penelitian sebelumnya) dengan merasa baik – feeling good. Para peneliti mengukur kebahagiaan dengan mengajukan pertanyaan pada subjek seperti “Seberapa sering Anda merasa bahagia?” “Seberapa sering Anda merasa tertarik dengan kehidupan?” juga “Seberapa sering Anda merasa puas?” Semakin tinggi nilainya, maka semakin tinggi skor mereka pada kebahagiaan hedonis (hedonic well-being)
Makna didefinisikan sebagai orientasi pada sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri. Mereka mengukur makna dengan mengajukan pertanyaan seperti, “Seberapa sering Anda merasa bahwa hidup Anda memiliki arah atau makna?”, “Seberapa sering Anda merasa bahwa Anda memiliki sesuatu untuk dikontribusikan kepada masyarakat?”, Dan “Seberapa sering Anda merasa menjadi bagian dari komunitas / kelompok sosial?” Semakin tinggi nilainya, maka semakin tinggi skor mereka pada kebahagiaan eudamonic (eudamonic well-being) – kebajikan – semakin banyak makna yang mereka rasakan dalam hidup.
Kemudian mereka menggunakan pemindaian fMRI untuk menentukan bagaimana daerah di otak merespons rangsangan yang berbeda. Cole dan Fredrickson tertarik pada bagaimana tubuh, pada tingkat genetik, merespons perasaan bahagia dan makna.
Istilah hedonisme dan eudaimonisme mengingatkan debat filosofis besar, yang telah membentuk peradaban Barat selama lebih dari 2.000 tahun, tentang sifat kehidupan yang baik. Apakah kebahagiaan terletak pada perasaan yang baik, seperti yang dipikirkan oleh para hedonis, atau dalam melakukan dan menjadi baik, bermakna seperti yang dipikirkan oleh Aristoteles dan keturunan intelektualnya, ahli etika kebajikan-eudaimonisme? Dari bukti penelitian ini, tampaknya merasa baik saja tidak cukup. Orang membutuhkan makna untuk berkembang. Dalam kata-kata Carl Jung, “Hal terkecil dengan makna, lebih berharga dalam hidup daripada hal terbesar tanpa itu.”
Oleh: Emily Esfahani Smith, penulis buku he Power of Meaning: Crafting a Life That Matters.
Dimuat di: The Atlantic.com pada 1 Agustus 2013
gambar: imgur.com
Bermakna Lebih Sehat dari Bahagia