Anton. “Ya allah !” Napas Suhartati tercekat. Baru saja suaminya, Amiruddin Tanjung membisiki, “Bu, anak kita lahir cacat.” Pantas kalau dokter menyuruhnya istirahat total usai bersalin, padahal ia merasa sehat-sehat saja. Juga, dua hari sejak di lahirkan, bayinya belum juga diperlihatkan padanya.
Air mata guru bahasa Inggris itu menetes, saat perawat datang membopong bayi lelakinya. Tangannya seolah diganduli besi ketika menyingkap selimut putih si jabang bayi. Astaghfirullah! Bayi montok bermata jeli itu kedua tangannya tak sempurna dan memiliki hanya sebelah kaki. Ia ingat, saat hamil pernah dua kali terpeleset. Ah, sudahlah, Tuhan pasti menyimpan rencana bagi bayi yang mereka beri nama, Prihartono Mirzaputra.
Meski gamang akan masa depan anaknya itu, lulusan IKIP Malang 1969 ini yakin, Tuhan menciptakan manusia dengan sempurna, ada sisi kekurangan dan kelebihan. Tugasnya lah menggali kelebihan yang dimiliki Anton, begitu anak keduanya itu dipanggil.
Kekuatan nasihat. Anton tumbuh jadi anak periang. Ia enjoy saja dengan keberadaanya. Ketika kemudian kedua adiknya berlahiran, Suhartati sudah siap jika suatu saat Anton merasa dirinya berbeda dengan Agus, kakaknya, serta adik-adiknya, Ari dan Putri.
Saat itu tiba juga. Suatu sore, keempat anaknya bercengkerama sambil melihat majalah yang mengisahkan proses pertumbuhan bayi dari embrio hingga balita. Anton nyeletuk, “Mestinya dulu ibu pergi ke dokter canggih, biar perutnya dipotret. Kalau tangan dan kakiku belum ada, jangan mau dilahirin. Tungguin dulu di perut sampai tumbuh.” Eh, Agus menimpali, “Kalau belum tumbuh, Dik Anton pukul perut Ibu dari dalam, biar tahu.”
Celoteh anak-anak balita itu menggelikan Suhartati. Padahal, hatinya perih sekali. Namun, ia harus tegar. Terhadap Anton, walau beda fisik, ia perlakukan tak beda dengan saudaranya. Terutama hak untuk mendapat pendidikan.
Usia empat tahun Anton sudah diterima dikelas 1 Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC), setelah lulus tes menulis dan menggambar. Menurut dokter YPAC, sebenarnya ia bisa disekolahkan di sekolah umum karena pertumbuhan otaknya normal, bisa menjawab pertanyaan dengan mantap, tegas dan jelas. Namun, Suhartati tak sampai hati membawanya ke sekolah umum. Hanya dalam enam bulan Anton menyelesaikan kelas 1. Sementara kakaknya masih di Taman kanak-kanak. Khawatir perbedaan ini menimbulkan kesenjangan antara kakak beradik, Hartati coba mengerem lewat gurunya. Menjelang kenaikan kelas, Anton mengadu dengan bangga, “Ibu, tadi ibu guru bilang, Anton tetap dikelas 1 karena belum cukup umur. Nilai Anton sih bagus, makanya diminta bantu ibu guru ngajari anak-anak yang baru masuk,” Hartati tersenyum haru. Harga diri Anton terangkat, padahal itu taktik agar kakaknya bisa menyusulnya di kelas 1.
Tadinya Anton ingin makan atau menulis dengan kaki, jika duduk pun meja dan kursi harus sama tinggi. Suhartati khawatir, anaknya tentu tak boleh begitu terus sampai besar. Maka, dengan keras dan penuh disiplin Anton diperlakukan sama dengan kakak dan adiknya, sama-sama duduk di kursi. Pernah, dengan cekatan ia makan dengan kaki.dengan lembut Suhartati melarang, “Jangan Nak. Cobalah dengan tangan. Pasti kamu bisa.” Awalnya susah payah. Namun, ajaib, Tuhan memberinya telapak tangan kiri yang bisa menempel kepergelangan tangan. Dengan itulah Anton melakukan segala aktivitas, mulai makan hingga menulis. Setelah sekian lama diantar jemput ke YPAC, dan setiap kali melewati pembuatan jalan Jakarta by pass, tiba-tiba suatu hari Anton menggambar buldoser yang setiap hari dilihatnya. Gambarnya bagus dan detail, berupa sketsa, yang diikutkan dalam lomba lukis di YPAC. Ternyata, menang.
Akhirnya, Suhartati menyadari, yang harus belajar bukan Anton, melainkan dirinya. Yakni, apa dan bagaimana caranya membentuk Anton, agar tak tergantung pada orang lain. Tak bosan-bosan Ibu energetic ini memompakan semangat, “Walau kondisimu begini, Tuhan akan memberi apa yang kamu butuhkan, asalkan kamu meminta kepada-Nya dan berusaha.”
Nasihat itu berakar kuat dalam hati Anton. Ia jadi tak pernah merasa berbeda dari anak lain, “Orang lain bisa, saya juga harus bisa! Tapi sebatas kemampuan saya.” Ketika kakaknya les privat piano di rumah, Anton kecil duduk disebelahnya, memperhatikan.
Selesai les, “Gantian saya tirukan apa yang tadi diajarkan.” Dengan tangan kanan hanya sebatas lengan dan tangan kiri berjemari tak lengkap, Anton kecil memainkan tuts. Dengan ia kembangkan sedikit, ajaib, ia bisa memainkan lagu itu lengkap dengan kord-nya.
Kelas 4, Hartati memesan kaki palsu ke Solo. Setiap pukul 05.00 Anton dibangunkan. Di saat anak-anak lain tengah nyenyak tidur, Anton berjuang keras belajar berjalan dengan protese. Kaki palsu itu menemaninya ketika ia lulus seleksi ikut ke Agoonore, jamboree pramuka khusus anak cacat, di Jepang, mewakili Indonesia. Sepulang dari sana, kegiatannya meningkat, selalu terpilih mendampingi (alm.) Ibu Tien Soeharto selaku pelindung YPAC, dalam berbagai acara kenegaraan.
Setiap kali band YPAC tampil menghibur, alat musik dipegang mereka yang fisiknya lebih lengkap, “Aku kebagian menyanyi, sebisaku.” Eh tak disangka, kata orang-orang, suaranya merdu. Satu lagi, Tuhan menganugerahi kelebihan. Sejak itu, ia sering tampil menyanyi.
Sayang, hanya tiga bulan ia bertahan memakai protese. ‘Kalau mau buang air repot sekali. Membuka, lalu memasang kembali, harus dibantu orang,” keluh Anton. Akhirnya, ia tak mau lagi pakai kaki palsu, “Buat apa? Orang toh tahu kakiku cuma satu,” protesnya pada Ibu. Kebetulan, waktu itu sedang musim skateboard. Kakaknya ikut keranjingan. Anton pun ingin mencoba. Dengan duduk di papan peluncur, lalu kaki kanan mendorong dan mengerem, ternyata asyik juga. Akhirnya, ke sekolah pun Anton menggunakan skateboard.
Suhartati sendiri tak keberatan. Hanya, ia agak galau, karena YPAC tak memiliki sekolah menengah. Maka, saat menginjak cawu II kelas 5, Anton dipindah ke SD Tarakanita Mampang, Jakarta, sekelas dengan kakaknya. Pihak sekolah tak keberatan, hanya, “Anton harus melewati “masa percobaan 2 minggu.”
Syukurlah Anton bisa lulus dengan nilai baik. Ia melanjutkan ke SMP Tarakanita, tetap sekelas dengan kakaknya. Di SMP inilah, nalurinya sebagai remaja bertumbuh wajar. Ikut main band. Naksir Cewek? “Ada sih, sekedar cinta monyet.ha-ha-ha…”
Uniknya, ia tetap memakai skateboard. Setiba di tangga, ada saja entah siapa yang membopongnya. Namun, di kelas 2 ia “dipaksa” memakai tongkat. Guru mengancamnya tidak naik kelas. Padahal, itu konspirasi dengan ibunya. Sehari saja ia sudah akrab dengan kruk. Lulus SMP, tak mau lagi ia “dilindungi” si kakak. Ia ingin pisah. Maka dipilihnya SMA Gonzaga, sedang kakak dan adiknya ke Pangudi Luhur. Di SMA, Anton makin merasa tak berbeda. Teman-teman sama sekali tak memanjakannya. “Kalau jalan bareng, karena saya tak bisa cepat ya ditinggal di belakang, “ Sikap Anton yang selalu riang membuatnya encer bergaul. Suara merdunya kerap meramaikan kantin sekolah, setiap jam istirahat, saling menjalin suara dengan sejumlah teman, tanpa alat musik. Karena setiap hari bercengkerama, kualitas paduan vokal mereka makin meningkat.
Secara kebetulan, kelompok akapela ini tampil pentas di Lab School, menggantikan band sekolah Gonzaga yang batal hadir. Tak disangka, sambutan hangat mengalir datang. Kemudian, kelompok itu dinamai Jamaica Café (JC). Selama beberapa tahun grup ini dikontrak Pisa Café. Anton kecipratan rezeki, bisa mendapatkan nafkah dari “menjual” suara.
Yang tak terlupa, di masa SMA lah Anton belajar menyetir. Toh ketika mengambil SIM, penguji ragu, ia di lempar kesana-sini, disuruh ikut segala macam tes. Untung ada teman membantu. Padahal, “Saya pernah menyetir hingga ke Padang, bawa keluarga. Gantian dengan adik.”
JC, buah pertemanan masa sekolah bersama Michael-Hekko-Iko-Bayu-Jimmy, memijarkan talenta Anton hingga masuk ke dapur rekaman, “ Album pertama, November 2004, ‘Musik Mulut’. Album kedua sedang disiapkan, memang ada beberapa lagu ciptaan saya.”
Anton kini telah tumbuh menjadi pribadi mandiri. Bukan hanya musik, talenta seni lukis juga tuntas dikembangkannya, setelah menamatkan kuliah di fakultas Seni Rupa Jurusan Seni Murni Insitut Kesenian Jakarta. Pengagum lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci, yang ternyata lebih suka melukis pemandangan ini, justru menjadikan melukis sebagai hobi, “Saya masih akan konsentrasi ke tarik suara.”
Apa pun bidang yang ditekuninya, tak semua yang sempurna fisik memiliki kelebihan dan motivasi sekuat dirinya. Namun, “Saya ingin sekali membalas kebaikan orang tua, dalam bentuk apa saja.” Mungkin ini pendorong untuk lebih berprestasi. Sebab, ketika menonton preview telesinema besutan Garin Nugroho tahun 2001, Rembulan di Ujung Dahan, dengan Anton sebagai pemeran utamanya, ayah dan ibunya menitikkan air mata, bangga dan haru. Anton menjadi pribadi yang tumbuh utuh.
Utuh tapi bersisi dua. Sisi sebelah adalah Anton yang periang, selalu optimistis. Sisi satunya, ia yang butuh kesendirian untuk introspeksi. “Tapi rasa sepi datang saat sendirian, terutama setelah saya kost sendiri.” Ia membunuh sepi dengan menonton teve, main playstation, atau membaca buku ilmu pengetahuan umum.
Rasa sepi. Mungkinkah karena masih sendiri? Sebagai lelaki dewasa berusia 31 tahun, wajar bila ia butuh pelengkap Jiwa. “Ada. Sudah setengah tahun ini. Kami sudah mengarah ke satu titik.” Cinta datang dan mengalir begitu saja. Awalnya teman biasa, ternyata ada kecocokan dan saling tertarik. “Saya suka seluruh dirinya. Semuanya menonjol. Ia tergolong periang, dan bisa membuat saya senang, “mata Anton berbunga. Adakah sosok ibu dalam dirinya?” ia tersenyum.
Bisa menerima dirinya seutuh mungkin, bukan karena iba hati, agaknya cukuplah memberanikan hati Anton untuk memulai lembaran baru sebagai pria seutuhnya. Selama ini ia pemberani, bukan? Berani untuk bisa seperti orang lain.
RAHASIA TEGAR DARI ANTON
* Percaya bahwa Tuhan Maha Adil, memberi kelebihan dan kekurangan sama besarnya. Jangan pernah putus asa atau cepat menyerah, Tuhan pasti memberi jalan.
* Mengamati, memperhatikan, lalu meniru itu sah saja. Namun, segera kembangkanlah, jadilah dirimu sendiri.
* Bercerminlah, introspeksi diri, cari kelebihan diri yang bisa dikembangkan.
sumber: Intisari
gambar: kompasiana