Air Terjun Niagara. Pada suatu kali diadakan sebuah lomba spektakuler yaitu menyeberangi air terjun Niagara. Pada peserta diharuskan menyeberangi air terjun tersebut dengan menggunakan seutas tali baja yang direntangkan di atas air terjun dan diikat di kedua ujung air terjun. Sementara peserta hanya dibekali sebatang tongkat panjang sebagai alat keseimbangan dan tali pengaman.
Sejak lomba dimulai sudah banyak peserta yang mencoba. Ada yang gagal sesaat menapaki tali baja, ada yang lebih jauh untuk kemudian tergelincir karena tali baja menjadi licin terkena uap air, ada yang membatalkan diri karena ngeri melihat air terjun yang sangat besar dengan tebing yang curam dibawahnya.
Akan tetapi, ada seorang peserta yang dengan pengalaman dan kepiawaiannya perlahan berjalan dengan mantap menapaki tali baja tersebut. Penonton mulai takjub ketika ia sampai di tengah-tengah karena sedari tadi belum ada peserta yang bisa sampai di sana. Perlahan tapi pasti peserta ini menapaki tali baja tersebut hingga akhirnya sampai dengan diiringi tepuk tangan gemuruh dari penonton.
tak berapa lama kemudian, panitia memberikan tantangan kepada sang pemenang. “Pak, Bapak berani tidak kembali ke tempat asal tadi? Karena jangan-jangan Bapak berhasil sampai di sini karena keberuntungan saja..”
Penonton terdiam.
Pria tersebut juga terdiam. Kemudian menjawab sambil tersenyum, “Baiklah, dengan senang hati.”
Dan tepuk tangan penonton pun bergemuruh lagi.
“Apakah Anda semua percaya bahwa saya akan dapat melakukannya lagi?” tanya pria itu kepada penonton. Dan serentak penonton menjawab,”Percayaaaaaaaaaaaa..”
“Kalau Anda semua percaya kepada saya, siapa diantara Anda yang mau melintasi air terjun ini bersama saya?”
Penonton terdiam. Sebagian melongok ke arah air terjun dan mencoba menaksir ketinggiannya. Debur air, angin yang bertiup dan tingginya air terjun membuat para penonton kecut hatinya. Semuanya terdiam. Tidak ada yang berani mengangkat tangan.
“Ayo, siapa yang mau melewatinya bersama saya? Jangan takut, nanti saya gendong. Dijamin aman.”
Penonton masih terdiam.
Tiba-tiba seorang anak kecil menyeruak dari kerumunan penonton dan mengangkat tangannya sambil berkata,”Saya.”
Dengan diiringi sorak sorai akhirnya kedua orang tersebut melintasi kawat baja kembali. Karena menggendong seorang anak kecil dipundaknya, maka perjalanan kali ini memakan waktu lebih lama. Ketika sampai di seberang air terjun niagara, tepuk tangan penonton jauh lebih riuh rendah dibanding saat pertama lelaki itu menyeberang. Mereka salut kepada keberanian anak kecil itu.
Dengan rasa penasaran, ketika anak kecil itu naik ke panggung seorang panitia bertanya,”Kok kamu berani sih menyeberang bersama Bapak itu?” Kemudian anak kecil itu menjawab,”Karena dia Ayah saya.”
***
Terdapat perbedaan yang signifikan antara PERCAYA dan MEMPERCAYAKAN. Sikap penonton dari cerita diatas adalah simbol PERCAYA. Sedangkan yang dilakukan sang anak adalah MEMPERCAYAKAN. Terkadang manusia berada pada sikap percaya kepada Tuhan, namun tidak bersedia mempercayakan total hidupnya dalam iman kepada-Nya. Seorang pimpinan percaya bahwa stafnya mampu menyelesaikan pekerjaan yang diberikan kepada anak buahnya tetapi tidak mempercayakan sepenuhnya. Akibatnya segala pekerjaan yang dilakukan anak buahnya di kontrol dengan ketat sehingga kreativitas mereka tidak berkembang. Seorang istri percaya bahwa suaminya tidak selingkuh, namun tidak mempercayakan sepenuhnya sehingga rasa cemburu buta masih mewarnai hubungan mereka.
Jadi, jika hidup hanya percaya berarti menunjukkan penyerahan diri yang tidak lengkap terhadap apa yang kita percayai. Hidup sekedar percaya tidak menuntut komitmen penuh. Sebagai contoh, seorang pimpinan percaya bahwa armada penjualannya mampu mencapai target bulanan, tetapi tidak ada komitmen untuk memberikan bimbingan dan arahan bagaimana untuk mencapainya.
Namun, percaya adalah langkah awal sebelum mempercayakan.
Anak kecil dalam kisah di atas tidak akan mempercayakan sebelum percaya kepada laki laki tersebut yang notebene adalah ayahnya. Hidup yang mempercayakan berarti penyerahan total kehidupan kita setelah kita mengetahui siapa yang kita percayai. Namun, bukan berarti menyerah total tanpa penyertaan akal budi dengan melihat realitas yang ada.
Dalam kehidupan spiritual, mempercayakan diri kepada Tuhan berarti sadar bahwa Dia Maha Kuasa dan Maha Tahu serta Maha Besar. Mempercayakan diri kepada Tuhan berarti mengenalNya melalui kehidupan ibadah yang baik, membaca kitab suci, beramal dan sebagainya.
Terkadang, dalam pengakuannya manusia percaya kepada kebesaran dan kemahakuasan Sang Maha Pencipta, namun tidak melakukan penyerahan secara total sehingga dia tetap saja merasa khawatir dan gentar ketika menghadapi permasalahan besar. Kadang-kadang kita perlu seperti anak kecil dalam cerita di atas: Mempercayakan secara total apa yang menjadi pergumulan hidup saat ini, karena kita mengenal siapa yang kita percaya.
Sumber: Setengah Isi Setengah Kosong, Parlindungan Marpaung, MQ Publishing
Gambar: niagarafallsstatepark.com
Air Terjun Niagara