Adversity Quotient untuk Kesuksesan. Apakah Adversity Quotient (AQ) itu? Menurut Stoltz, AQ adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. Adversity Quotient merupakan faktor yang dapat menentukan bagaimana, jadi atau tidaknya, serta sejauh mana sikap, kemampuan dan kinerja kita dapat menuntun kita kepada kesuksesan. Orang yang memiliki AQ tinggi akan lebih mampu mencapai kesuksesan dibandingkan orang yang AQ-nya lebih rendah. Dalam bukunya Adversity Quotient (AQ), Paul G Stoltz menganalogikan bahwa hidup kita dapat diibaratkan dengan sebuah pendakian.
Kita dilahirkan dengan satu dorongan inti yang manusiawi untuk terus mendaki kesuksesan. Apakah pendakian tersebut berkaitan dengan mendapatkan pangsa pasar, mendapatkan nilai yang lebih bagus, memperbaiki hubungan dengan relasi kerja, menjadi lebih mahir dalam segala hal yang sedang dikerjakan, menyelesaikan satu tahap pendidikan, membesarkan anak menjadi seorang bintang, mendekatkan diri kepada Tuhan atau memberikan kontribusi yang berarti selama masa hidup kita yang singkat di planet ini. Orang-orang yang ingin mencapai kesuksesan memiliki dorongan yang mendalam untuk berjuang dan mewujudkan impian mereka.
Dorongan inti untuk mencapai kesuksesan merupakan perlombaan naluriah kita dalam menyelesaikan tugas sebanyak mungkin, semampu kita dalam batas waktu yang telah ditentukan. Apakah tujuan tersebut dinyatakan secara resmi atau tidak, kita merasakan dorongan ini. Jika Anda tidak percaya, coba amati apa yang terjadi pada orang-orang yang menderita kanker dan secara tak terduga sembuh total atau orang-orang yang selamat dari maut. Tinjauan kembali mengenai seluruh kehidupan mereka dan mengetahui “apa yang sebenarnya penting” dalam hidup ini, sering mengubah tingkah laku mereka menjadi sangat berbeda dalam menafsirkan arti kesuksesan.
Seandainya kita sama-sama memiliki dorongan inti mendaki untuk mencapai kesuksesan, lantas mengapa kita tidak melihat puncak gunung penuh dijejali oleh mereka yang berhasil mencapai puncaknya? Mengapa justru sebaliknya yang terjadi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memeriksa apa yang terjadi pada ketiga jenis orang yang kita jumpai sepanjang perjalanan mendaki gunung itu. Orang-orang tersebut memiliki respons yang berbeda-beda terhadap pendakian dan sebagai akibatnya, dalam hidup ini mereka menikmati berbagai tingkat kesuksesan dan kebahagiaan. Orang-orang seperti itu bisa dengan mudah kita temukan dalam perusahaan kita, dalam hubungan-hubungan yang kita bina, dalam berita-berita dan dalam semua jenis pekerjaan.
Mereka yang Berhenti (Quitters)
Tak diragukan lagi, ada banyak orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti untuk mengejar kesuksesan. Mereka ini disebut Quitters atau orang-orang yang berhenti. Mereka menghentikan pendakian. Mereka menolak kesempatan kesuksesan yang diberikan. Mereka mengabaikan, menutupi, atau meninggalkan dorongan inti yang dengan demikian juga meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan untuk mencapai tingkat kesuksesan yang mereka inginkan.
Quitters menjalani kehidupan yang tidak terlalu menyenangkan. Mereka meninggalkan impian-impiannya dan memilih jalan yang mereka anggap lebih datar dan lebih mudah. Ironisnya, seiring dengan berlalunya waktu, Quitters mengalami penderitaan yang jauh lebih pedih daripada yang ingin mereka elakkan. Dan, saat yang paling memilukan dan menyedihkan adalah sewaktu mereka menoleh ke belakang dan melihat bahwa kehidupan yang telah dijalani ternyata tidak menyenangkan. Inilah nasib Quitter, orang yang berhenti yang amat jauh dari kesuksesan.
Sebagai akibatnya Quitters sering menjadi sinis, murung, dan mati perasaannya. Atau, mereka menjadi pemarah dan frustrasi, menyalahkan semua orang di sekelilingnya dan membenci orang-orang yang terus mendaki. Quitters juga sering menjadi pecandu, entah itu pecandu alkohol, narkoba, atau acara-acara televisi yang tidak bermutu. Quitters mencari pelarian untuk menenangkan hati dan pikiran.
Ciri Quitters di tempat kerja
– bekerja sekedar cukup untuk hidup
– memperlihatkan sedikit ambisi
– semangat minim
– mutu pekerjaan di bawah standar
– risk averse, tidak berani mengambil resiko kecuali jika terancam
– tidak kreatif
– mengeluh, menolak dan ‘lari’ dari perubahan
– bahasa: tidak bisa, tidak mau, mustahil, dll
Mereka yang Berkemah (Campers)
Kelompok individu yang kedua adalah Campers atau orang-orang yang berkemah. Mereka pergi tidak jauh, lalu berkata, “Sejauh ini sajalah saya mampu mendaki untuk mencapai kesuksesan.” Karena bosan, mereka mengakhiri pendakiannya dan mencari tempat datar yang rata dan nyaman sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Mereka memilih untuk menghabiskan sisa-sisa hidup mereka dengan duduk di situ. Di tempat itu mereka mendapatkan definisi kesuksesan menurut mereka.
Berbeda dengan Quitters, Campers sekurang-kurangnya telah menanggapi tantangan pendakian itu. Mereka telah mencapai tingkat tertentu. Perjalanan mereka mungkin memang mudah atau mungkin mereka telah mengorbankan banyak hal dan telah bekerja dengan rajin untuk sampai ke tempat di mana mereka kemudian berhenti. Pendakian yang tidak selesai itu oleh sementara orang dianggap sebagai kesuksesan. Namun demikian, meski pun Campers telah berhasil mencapai tempat perkemahan, mereka tidak mungkin mempertahankan keberhasilan itu tanpa melanjutkan pendakiannya. Karena yang dimaksud dengan pendakian adalah pertumbuhan dan perbaikan seumur hidup pada diri seseorang.
Campers juga menjalani kehidupan yang tidak lengkap. Perbedaannya terletak pada tingkatnya. Karena lelah mendaki, mereka berkata, “Ini sudah cukup baik,” tanpa menyadari harga yang akan mereka bayar. Campers mungkin merasa cukup senang dengan ilusinya sendiri tentang kesuksesan. Mereka biasanya merasa tidak ada salahnya berhenti mendaki supaya bisa menikmati hasil jerih payah mereka dan menikmati pemandangan dan kenyamanan yang sudah mereka peroleh.
Sambil memasang tenda, Campers memfokuskan energinya pada kegiatan mengisi tenda dengan barang-barang yang secepat mungkin membuatnya nyaman.
Meskipun kita tidak pernah mendengar ada orang yang mendefinisikan kesuksesan sebagai kenyamanan, banyak orang yang kita temui yakin bahwa kenyamanan itu sepertinya tujuan akhir mereka. Mereka ini adalah Campers. Campers menciptakan semacam “penjara yang nyaman” –sebuah tempat yang terlalu enak untuk ditinggalkan.
Campers berhasil mencukupi kebutuhan dasar mereka, yaitu: makanan, air, rasa aman, tempat berteduh, bahkan rasa memiliki. Mereka telah melewati kaki gunung. Dengan berkemah mereka mengorbankan bagian puncak Hirarki Maslow, yaitu aktualisasi diri dan bertahan pada apa yang telah mereka miliki. Akibatnya, Campers menjadi sangat termotivasi oleh kenyamanan dan rasa takut. Mereka takut kehilangan tempat berpijak, dan mencari rasa aman dari perkemahan mereka yang kecil dan nyaman. Inilah ‘definisi’ kesuksesan bagi para Campers.
Ciri Campers di tempat kerja
– menunjukkan sejumlah inisiatif dan beberapa usaha
– menunjukkan sedikit semangat
– bekerja keras dengan tujuan agar mereka lebih nyaman
– masih mengerjakan apa yang perlu dikerjakan
– bekerja tidak mengeluarkan seluruh kemampuannya
– bersikap ‘wait and see’ terhadap perubahan
– bahasa: ini sudah cukup bagus, syarat minimumnya apa?, cukup sampai disini, dll
Para Pendaki (Climbers)
Climbers, atau si pendaki, adalah sebutan untuk orang yang seumur hidup membaktikan dirinya pada pendakian. Tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik, mereka terus mendaki. Dia seperti kelinci pada iklan baterai Energizer di pegunungan. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental atau hambatan lainnya menghalangi pendakiannya untuk mencapai kesuksesan.
Dari ketiga jenis individu tersebut, hanya Climbers yang menjalani hidupnya secara lengkap. Untuk semua hal yang mereka kerjakan, mereka benar-benar memahami tujuannya dan merasakan gairahnya. Mereka mengetahui bagaimana perasaan gembira yang sesungguhnya dan mengenalinya sebagai anugerah dan imbalan atas pendakian yang telah dilakukan. Karena tahu bahwa mencapai puncak itu tidak mudah, maka Climbers tidak pernah melupakan “kekuatan” dari perjalanan yang pernah ditempuhnya.
Kisah terkenal tentang Thomas Edison, yang membutuhkan lebih dari 20 tahun dan 50.000 kali percobaan untuk menemukan baterai yang ringan, tahan lama, dan efisien sebagai catu daya mandiri, menceritakan seseorang yang mempertanyakan usaha-usaha yang telah dilakukan Edison. “Mr.Edison, Anda telah gagal 50.000 kali. Apa yang membuat Anda berpikir bahwa pada akhirnya Anda akan mendapatkan hasil?” Edison menjawab, “Hasil? Saya telah mendapatkan banyak hasil. Saya tahu 50.000 hal yang tidak akan berfungsi!” Edison juga seorang Climber, contoh nyata tentang arti kegigihan yang sesungguhnya.
Climbers juga manusia biasa. Kadang-kadang mereka merasa bosan dengan pendakian. Mereka mungkin mengalami keragu-raguan juga, atau merasa kesepian dan sakit hati. Mereka juga pernah mempertanyakan usaha-usaha yang telah dilakukan. Kadang-kadang, Anda bisa melihat mereka berkumpul di perkemahan Campers. Tapi, bedanya, Climbers berada di sana untuk memulihkan kekuatan dan mengumpulkan tenaga baru untuk pendakian berikutnya, sementara Campers berada di situ untuk menetap. Bagi Climbers, perkemahan adalah kemah induk. Bagi Campers, tempat tersebut adalah rumah.
Ciri Climbers di tempat kerja
– menyambut baik tantangan yang ada
– menunjukkan semangat tinggi
– bisa memotivasi diri sendiri
– berjuang untuk mendapatkan yang terbaik dalam hidup
– kreativitas tinggi
– bekerja dengan visi
– menyambut baik dan mendorong terjadinya perubahan yang positif
– bahasa: bisa, semangat, selalu ada jalan, lakukan dengan benar, yang penting bertindak
sumber: Adversity Quotient, Paul G Stoltz
gambar: bayugmurti.files.wordpress.com