Pengusaha

Pengusaha

Pengusaha. Setiap orang berbakat.
Menjadi pengusaha adalah bakat. Begitu aksioma sebagian orang tentang profesi yang sangat menantang ini. Menjual adalah bakat, katanya. Benarkah demikian? Saya termasuk orang yang tidak terlalu mempercayai aksioma tersebut. Landasan berpikir saya adalah, coba kita renungkan bersama hal-hal sebagai berikut:

Pertama: Kita adalah pemenang dari 150 juta sperma.
Sperma sebanyak itu mati dan tak bisa memenangkan kompetisi mererebut ovum (sel pembuahan reproduksi wanita) kecuali satu sperma, yakni sperma yang kemudian menjadi kita seperti saat ini. Perjuangan sperma yang melelahkan, memakan waktu yang panjang, penuh halang rintang dengan proses yang berkelok dan berliku-liku. Akhirnya perjuangan itu pemenangnya adalah kita yang sampai hari ini masih bisa menghirup udara yang gratis diberikan Allah untuk bekal hidup kita. Sebagai pemenang kompetisi melawan jutaan sperma, mestinya kita bangga dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi dalam menatap kehidupan ini.

Kita oleh Tuhan dibekali self confidence yang luar biasa hebatnya, terbukti mampu mengalahkan pesaing yang sangat luar biasa banyaknya. Namun kenapa semua itu tidak tumbuh subur dalam pribadi kita begitu kita menapaki kehidupan di dunia ini? Adakah kita telah lupa dengan sejarah fitrah penciptaan kita? Apakah kita tidak mengambil hikmah atas sepenggal awal kejadian dalam kehidupan seorang manusia, termasuk kita, sehingga kita akhirnya menjadi manusia yang lupa atas fitrah kita, yang sesungguhnya semua itu merupakan modal kemandirian kita?

Jiwa pengusaha yang optimistik, penuh rasa percaya diri, kemampuan untuk mandiri, daya kreasi yang bebas dan kreatif, selalu ingin jadi juara, kemampuan berkompetisi, dll, semuanya adalah faktor dasar yang secara fitri sudah diberikan Allah kepada kita sejak masih berbentuk sperma, yaitu air yang hina, air yang disia-siakan dan air yang ‘tak berarti’.
Faktor-faktor fitrah manusia seperti itu sesungguhnya merupakan modal dasar setiap manusia untuk menjadi pengusaha. Sebab pengusaha memang haruslah memiliki kemampuan dasar seperti itu. Jadi secara fitrah manusia sesungguhnya diberikan Allah satu kemampuan untuk menjadi pengusaha yang sangat luar biasa.

Hanya masalahnya, kenapa kemudian setelah kita dewasa kita merasa tidak percaya diri untuk menjadi pengusaha? Coba kita renungkan kembali kenapa potensi dasar yang sangat luar biasa diberikan Allah untuk jadi pengusaha itu kok tidak berkembang, bahkan yang muncul dan berkembang dalam kepribadian kita adalah kepribadian yang inverior, rasa rendah diri, merasa tak mampu dan takut gagal jadi pengusaha? Bukankah kita sudah pernah menjadi pemenang dengan kompetisi jutaan kompetitor? Kenapa kita lupa kalau kita sesungguhnya diciptakan untuk menjadi pemenang? Kenapa kita tak punya percaya diri untuk menjadi pengusaha dan menang dalam setiap kompetisi? Kenapa daya juang kita melemah padahal sesungguhnya kita dilahirkan sebagai seorang hero (pahlawan)? Saatnya kita mengintrospeksi diri, siapa sesungguhnya diri kita ini?

Kedua: setelah kita lahir yang pertama kita lakukan adalah menangis.
Orangtua kita akan sedih dan menangis, kalau kita semua lahir tidak menangis. Tapi karena kita lahir menangis maka orangtua kita jadi senang.
Apa sesungguhnya makna ‘menangis’ ini dari kacamata pengusaha? Menangis sesungguhnya adalah merupakan aktivitas promosi. Ya, promosi! Kenapa begitu? Karena menangisnya anak kecil itu sesungguhnya upaya anak untuk mencari perhatian dari orangtuanya dan orang-orang lain di sekitar kehidupannya yang baru.
Artinya: Tangisan bayi telah berhasil menjadi aktivitas promosi yang sangat luar biasa efektif untuk memperkenalkan jati diri si bayi pada kurun selanjutnya dari kehidupannya. Dengan demikian, sejatinya sejak lahir kita sudah diberi kemampuan selling yang sangat luar biasa. Karena dengan tangisan sang bayi, akhirnya dia bisa menjual dirinya untuk dibeli dengan perhatian banyak orang di sekitar kehidupannya.

Ketiga: Lingkungan keluarga tidak mendukung tumbuh kembangnya jiwa pengusaha.
Ketika kita kecil orangtua kita menanamkan pendidikan kepada kita dengan pendidikan bukan sebagai calon pengusaha. Coba kita amati para orangtua mendidik anaknya bila si anak main pisau, main api, main martil, panjat pagar, naik pohon, naik genteng, mainan air, dan sebagainya. Apa yang dilakukan orangtua terhadap anaknya yang masih di bawah lima tahun usianya dan anak itu bermain api, air, pisau dsb itu?
Sebagai orang tua apabila kita melihat anak bermain seperti itu, hampir semua kita akan mengatakan, “Jangan! Jangan! Dan jangan!” Apa sesungguhnya yang terjadi dengan pendidikan, Jangan! Jangan! Dan jangan,” itu? Kita sedang berupaya mengecilkan upaya pertumbuhan otak kanan si anak. Peran otak kanan si anak sedang disusutkan lewat pendidikan, “Jangan! Jangan! Dan jangan,” itu. Otak kanan anak akhirnya menjadi mengecil dan jiwa pengusaha tak berkembang semestinya. Hasil dari proses pendidikan, “Jangan! Jangan! Dan jangan,” itu adalah kita menjadi penakut. Kita menjadi orang yang tidak memiliki rasa percaya diri yang cukup. Karena kita tidak memberikan ruang berkembang yang cukup ideal bagi otak kanan, maka akhirnya kini kita menjadi manusia dan bangsa inverior, kurang percaya diri dan tidak berani bersaing secara sehat.

Padahal sesungguhnya pada otak kananlah emotional quation dan spiritual quotion tempatnya berada. Pada pendidikan berbasis otak kananlah sesungguhnya tumbuhnya kreatifitas dan inovasi seorang pengusaha. Imajinasi dan cita-cita calon pengusaha dibangun lewat otak kanan, yang kelak akan sangat berarti bagi kehidupannya membangun “hidup ini menjadi lebih hidup.” Pada otak kananlah perasaan kemanusiaan dibangunsuburkan.

Keempat: kita mengukur kesuksesan hidup secara linier.
Apa yang kita lakukan dengan pendidikan anak berbasis otak kanan? Kita hampir tidak memberikan ruang berkembang yang cukup ideal. Sebab pada kenyataannya banyak orang yang akhirnya mengukur kesuksesan anak bila di kelasnya rangking satu. Anak di nilai hebat, kalau nilai raportnya 9 atau 10, juara satu di kelas atau sekolahnya, dan lulus dengan cumlaude. Orang disebut hebat kalau dia pintar, bergelar sarjana, doktor atau professor. Kita menilai orang dari sisi nilai ijazah dan raport setiap semesternya. Benarkah demikian sesungguhnya dalam hidup ini?

Kelima: semasa masih kecil, orangtua dan keluarga juga menanamkan pendidikan tentang cita-cita anak bukan sebagai calon pengusaha.
Coba Anda amati orang-orang di sekitar kita ketika menanamkan apa cita-cita anak kalau besar nanti. “Apa cita-citamu kalau besar nanti?” Demikian kata mama suatu saat pada anaknya. Papanya juga menambahkan, “Mau jadi apa kalau besar nanti kamu nak?”
Apa yang diajarkan orangtua pada anaknya tentang cita-cita dan hidup masa depan anaknya? Hampir sebagian besar kita akan menggiring anak agar kalau besar nanti jadi pilot, jadi dokter, jadi insinyur, jadi presiden, jadi perawat, jadi guru, jadi polisi dan jadi tentara. Masih dalam kerangka pendidikan yang belum mengeluarkan biaya besar, kenapa kita tidak menanamkan jiwa dan semangat anak dengan memotivasi cita-citanya kelak menjadi pemilik pesawat? Kenapa kita tidak mengajarkan anak agar kelak besar menjadi pemilik rumah sakit? Kenapa kita hanya menempatkan anak dengan cita-cita “cukup sebagai pilot” cukup sebagai perawat dan dokter” dan tidak menjadi pemilik pesawatnya atau rumah sakitnya? Orangtuanya sendiri yang tidak memiliki kemampuan berpikir sebagai pengusaha.

Keenam: Ketika masih di bangku sekolah dasar, kita baru belajar menulis dan membaca, oleh guru diajari dengan pelajaran bukan sebagai pengusaha.
Kita di kelas diajarkan cara menulis dan membaca seperti ini, “Ini ibu Budi.” “Ibu Budi pergi ke pasar membeli roti.” Begitu seterusnya. Guru mengajari kita dengan pengetahuan dasar sebagai “pembeli”. Kenapa guru tidak mengajarkan kita dengan pelajaran menjadi pengusaha, “Ini ibu Budi.” “Ibu Budi pergi ke pasar berjualan roti.” Pelajaran “berjualan” tidak diajarkan dan tidak ditanamkan kepada murid sedini mungkin. Sejak kecil kita diajari untuk menjadi orang yang konsumtif. Kita tidak diajarkan bekerja keras untuk meraih sesuatu. Dari sekolah dasar kita tidak diajari bagaimana bekerja dengan baik dan benar, namun selalu kita diajari untuk menjadi orang yang konsumtif, hedonism dan pragmatis.

Ketujuh: Sejak kelas 1 Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi usai, kita diajarkan menyelesaikan soal-soal setiap kita mau test dan ujian kenaikan kelas atau kelulusan dengan soal-soal yang oleh guru disuguhkan dalam format multiple choice.
Apa sesungguhnya yang sedang diajarkan oleh guru, dosen dan para ahli pendidikan kita itu dengan soal-soal yang multiple choice itu? Kita selalu setiap saat disuguhkan soal-soal seperti itu sesungguhnya kita sedang diproses dan dijadikan oleh guru-guru kita itu menjadi orang yang harus menyelesaikan setiap masalah itu dengan cara instan.

Soal-soal seperti itu dibuat oleh guru dengan alasan yang praktis dan pragmatis, yakni: agar dalam proses mengoreksinya lebih mudah. Apalagi dengan jumlah siswa yang banyak, mata pelajaran yang juga tidak sedikit, maka satu-satunya cara menyelesaikan kurikulum dengan cepat adalah dengan soal-soal multiple choice itu. Apa yang dihasilkan dari keinginan guru yang sekedar ingin praktis dan pragmatis?
Ternyata hasilnya adalah kehidupan yang praktis, pragmatis, instan dan tidak mau bersusah payah untuk meraih tujuan sesuatu yang diinginkan. Guru, dosen dan para ahli pendidikan negeri ini mengajarkan kehidupan yang pragmatis dan konsumtif, maka hasilnya kita menjadi orang yang sangat mengagungkan semua penyelesaian semua masalah ini dengan cara-cara yang pragmatis, instan dan tak mau bersusah payah, tidak mau antri, tidak mau sesuai dengan prosedur, bahkan beberapa hal kita sudah tidak peduli lagi dengan proses.

Kalaulah kemudian setelah dewasa, bangsa ini sudah setengah abad lebih merdeka, kita akhirnya tumbuh menjadi orang dan bangsa yang korup, halal haram tidak peduli, contek mencontek tidak masalah, plagiat memplagiat atau bajak membajak akhir-akhir ini merajalela di semua sektor bisnis, mendapatkan ijazah dan gelar kesarjanaan pun bisa dengan membeli, berbohong adalah biasa, mark up itu boleh dan upeti atau sogok menyogok adalah wajar, siapakah yang paling punya tanggung jawab?

Di kampung-kampung, banyak orang tua rela menjual sapi dan sebidang tanah untuk “membela” anaknya yang selepas lulus STM mau jadi tentara atau karyawan daripada melakukan hal yang sama tetapi untuk berjualan krupuk atau beras. Mereka rela melepas sejumlah uang untuk “jasa terimakasih” karena anaknya menjadi pegawai negeri (PNS) daripada uang itu untuk kulakan sepatu atau berjualan roti. “Tanpa uang, mana mungkin zaman sekarang? Karena ini sudah lumrah dan wajar di zaman sekarang,” kata mereka.

Dengan demikian, akhirnya bisa disimpulkan bahwa semangat menjadi pengusaha yang tidak tumbuh subur dalam keluarga, masyarakat dan pendidikan, ternyata telah merajut masa depan negeri ini dengan rajutan yang senantiasa mbrundet dan tak bisa diurai. Makanya, ketika ada di antara kita yang mengatakan bahwa menjadi pengusaha adalah bakat, maka menurut saya, perlu dikoreksi ulang argumentasinya.

Setiap kita sudah dibekali untuk hidup mandiri dan bisa menjadi pengusaha yang ulung. Bahkan untuk menjadi seorang hero pun sesungguhnya kita secara fitri sudah dibekali dengan infrastruktur dan potensi yang luar biasa. Setiap kita pasti bisa sukses. Setiap kita berbakat menjadi pengusaha dan pemenang. Dan…. setiap kita berpotensi menjadi kaya. Hanya masalahnya, bahwa ketika kita tumbuh, membesar, dan dewasa, maka kenapa ketakutan dan keraguan yang menggelayut setiap waktu, sehingga kita sulit untuk memutuskan menjadi pengusaha? Jadi, kapan Anda siap jadi pengusaha?

Literatur : A Khoerussalim Ikhs, To Be The Moslem Entrepreneur, Pustaka Al-Kautsar, 2005
gambar: labs.openviewpartners.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.