Berlawanan Tanpa Bermusuhan

Berlawanan Tanpa Bermusuhan

Berlawanan dengan orang lain tetapi tidak bermusuhan. Mungkinkah?

Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (dalam jaringan) menjelaskan makna kata “berlawanan” sebagai berikut: berlawanan/ber•la•wan•an/ v 1 menjadi lawan (dari); bertentangan; bermusuhan: kami tidak pernah cocok, sehingga selalu ~ pendapat; 2 saling menjadi lawan; (saling) bertolak belakang; (saling) berbalikan (arah, arti): kedua mobil yang bertubrukan itu datang dari arah yang ~;

Kita dapat melihat bahwa kata “berlawanan” mempunyai sinonim bertentangan, bermusuhan, bertolak belakang, berbalikan arah, berbalikan arti.

Maka, kita pun bisa maklum bahwa berlawanan dan bermusuhan itu bisa persis sama artinya bisa pula tidak begitu persis. Hal itu bergantung pada konteksnya, pada gambar besarnya.

Dalam hal sepakbola, maka pendukung sebuah kesebelasan jelas berlawanan dengan pendukung kesebelasan lain. Misalnya antara Jakmania, pendukung kesebelasan Persija dengan Bobotoh, pendukung kesebelasan Persib, jelas mereka berlawanan karena berbeda dukungan. Tetapi, apakah mereka bermusuhan? Tampaknya mereka juga bermusuhan, ketika terjadi ketidak-puasan atas kekalahan idola mereka dari lawannya.

Kita pun lalu mendengar berita tentang perkelahian dan bentrokan antar kedua pendukung yang berlawanan itu. Dalam konteks pertandingan ini, maka tidak ada paradoks antara berlawanan dan bermusuhan. Kedua kubu memang sedang berlawanan dan sekaligus bermusuhan.

Namun, dalam keadaan normal di mana tidak ada pertandingan sepakbola dan tak ada pertemuan antara kedua tim kesebelasan itu, maka tidak relevan membahas soal berlawanan dan bermusuhan. Masa panjang tanpa ada pertandingan adalah masa damai. Tak ada rasa keberlawanan maupun rasa permusuhan.

Dalam konteks sepakbola, ketika sedang terjadi pertandingan antara dua tim yang menjadi lawan klasik alias “musuh bebuyutan,” berlawanan bisa berarti pula bermusuhan. Rasa bermusuhan itu mempengaruhi perilaku sebagian kecil pendukung masing-masing pihak sampai terjadi bentrok fisik di lapangan. Di luar musim pertandingan, hilang rasa berlawanan dan bermusuhan itu, sehingga hidup pun terasa damai.

Hal itu berbeda ketika kita bicara dalam konteks politik. Dukungan pada seseorang calon presiden jelas berlawanan dengan dukungan pada calon presiden lainnya. Celakanya, hari ini, hal itu mempengaruhi suasana hati pendukung. Pendukung seseorang capres seringkali menjadi penyebab rasa kurang senang terhadap pendukung capres lainnya. Pada keadaan lebih seriusnya, rasa kurang senang itu membuat sebagian pendukung menyimpan rasa permusuhan. Di sinilah kata berlawanan menjadi tumpang tindih dengan rasa bermusuhan.

Sekarang, berbeda pilihan capres dapat menciptakan rasa tidak enak antar teman. Dunia media sosial telah mempercepat akselerasi rasa berlawanan itu ke tingkat yang tidak mengenakkan. Saat seseorang bermaksud berbagi berita tentang capres dukungan, itu bukan diterima sebagai berita. Tanggapan negatif atau tanggapan kecurigaan muncul sebagai reaksi.

Ketika seseorang bermaksud bertanya untuk klarifikasi kepada pendukung capres lain, hal itu dianggap sebagai serangan.

Pertanyaan dan serangan sudah dianggap sama. Penjelasan dan pembelaan sudah dianggap sama. Sehingga orang-orang pun jadi terkondisi untuk menjadi keras dan curiga pada orang yang berbeda capres yang didukung. Sindir menyindir menjadi alat untuk menyerang atau untuk membela diri.

Kondisi hari ini, banyak orang yang sering membawa perasaan alias “baper.” Sehingga, jika ingin aman tak meninggalkan rasa tidak nyaman pada teman, sebagian orang memilih diam. Memilih berdiam diri di dunia maya untuk tidak berkomentar, tidak memposting meski pun halus. Sebab, sehalus apa pun sebuah posting atau komentar, tetap diterima dengan rasa kurang nyaman.

Meminjam Tangga Kesimpulan (the Ladder of Inference) karya Peter Senge, kita bisa melihat ucapan, sindiran, sharing, komentar, keberpihakan, dll berasal dari ‘belief’ atau keyakinan masing-masing orang. Pangkal dari semuanya adalah pengalaman dan data yang dapat diobservasi sebagai anak tangga pertama.

The-Ladder-of-Inference-Peter-Senge

Sebagai masyarakat yang hampir semuanya adalah pemeluk agama samawi (agama berdasarkan wahyu Ilahi) maka pengalaman yang pertama adalah pengalaman sebagai anak-anak dalam keluarga pemeluk agama samawi. Data yang masuk adalah berupa perilaku orang-orang yang lebih tua, baik kakak atau anak tetangga yang berperan sbg kakak, sampai pada orang-orang dewasa baik yang masih lajang atau sudah menjadi orang tua atau menjadi kakek dan nenek. Perilaku orang dewasa menjadi bahan yang diobservasi yang kelak membentuk belief (baik positif maupun negatif seperti ‘perilaku potong kompas’). Perilaku teladan mereka akan dipilah, dipilih, dan akan bahan pemaknaan dan asumsi dirinya. Bahkan kelak memperkuat beliefnya.

Terlihat betapa pentingnya perilaku orang-orang dewasa bagi perkembangan jiwa anak-anak. Teladan mereka yang bagus akan memperkokoh makna dan ‘belief’ sang anak secara positif.

Jika perilaku baik orang dewasa dapat menjadi teladan bagi anak-anak, maka perilaku pemimpin (di semua tingkatan, di semua lingkungan) dapat menjadi teladan bagi orang-orang yang dipimpinnya.

Dan mungkin sangat sulit dijalankan adalah bagaimana bersikap beda dengan orang lain tetapi tetap berteman dengan baik. Bagaimana memilih jalan dan sikap yang berlawanan tetapi tetap menjaga hubungan baik. Berlawanan dalam gagasan tanpa menjadi bermusuhan. Tidak mudah, tetapi bisa dijalankan.

(Renungan Idul Fitri 1439, pada hari ketiga bulan Syawal. Hendri Ma’ruf/Ciputat-Tangsel)
Sumber ilustrasi: https://www.goal.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.