Service Excellence Petugas Kebersihan RS. Ini adalah sebuah kisah tentang pelayanan prima dari seorang petugas kebersihan rumah sakit. Dalam bahasa pemasaran, praktek hebat yang terlihat dari petugas itu masuk dalam pembahasan Service Excellence. Ditulis oleh Rahel Yosi Ritonga, seorang ibu yang anaknya dirawat di rumah sakit tersebut. Rahel adalah ibu rumah tangga full time yang pernah mengecap pendidikan S2 di negeri Belanda. Dia mengunggah ke Facebook pada tanggal 21 Januari 2018. Dua-belas hari kemudian, yaitu tanggal 2 Februari, sharing apresiasi terhadap petugas itu direspon 739 orang dan dibagikan kembali (share) sebanyak 51 kali.
Tentu Anda tertarik ingin mengetahui mengapa petugas kebersihan atau cleaning service itu layak mendapatkan pujian dan penghargaan.
Rahel memulai tulisannya begini:
Saya mau bercerita tentang seorang petugas kebersihan di rumah sakit tempat kami menginap. Saya memanggil perempuan muda ini mbak Fitri. Ia memang hanya petugas kebersihan, tetapi kerjanya dan sikapnya sangatlah terpuji.
Shift kerjanya saat itu adalah pagi sampai siang. Jadi ia datang ke kamar kami pada pagi hari. Siang ia bisa datang lagi kalau saya membutuhkan kamar untuk dibersihkan. Ia selalu datang dengan ekstra senyumnya. Ekstra tertawanya. Ekstra keramahannya.
Rahel mengatakan bahwa Fitri bukan sekedar melakukan pekerjaan kebersihan saja, melainkan juga berinteraksi dengan dirinya. Ia menunjukkan Service Excellence. Fitri menanyakan kondisi anak-anak saya dan mengajak mengobrol. Rahel merasa bahwa amat langka petugas kebersihan yang mau bersusah-payah beramah-tamah dengan pasien atau keluarganya.
Rahel meneruskan ceritanya:
Ada puluhan atau bahkan ratusan kamar yang harus mereka bersihkan dalam hitungan menit, jadi saya rasa beramah tamah masuk hitungan terakhir dalam daftar to-do-list mereka. Karena begitu mereka selesai membersihkan kamar, mereka harus minta tanda tangan dari penghuni kamar bahwa kamar sudah dibersihkan.
Lebih cepat dan lebih bersih, lebih baik.
Siang itu saya mendapati persediaan tissue di pantry dan ruang tamu kamar kami habis. Jadi saya minta tissue pada mbak Fitri. Dia mengatakan, “Maaf sekali bu, kebetulan stock tissue pantry habis. Tadi saya mau mengisi persediaan tissue di kamar lainpun belum bisa. Saya sudah tanya di bagian stock kebersihan katanya baru datang besok. Kalau yang tissue dus ada.”
Saya bilang padanya, “Lah, masak rumah sakit segede ini stock tissue nya habis? Bagaimana nih?”
Ia menyahut, “Nah itu bu, saya juga jadi ikut nggak enak. Maaf ya bu. Besok pagi begitu datang langsung saya ganti.”
Rahel sudah hampir mengatakan: “Saya bayar kamar semahal ini, tissue nya aja harus nunggu.” Dia memutuskan menahan diri, karena Fitri meminta maaf untuk sesuatu yang sebetulnya bukan kesalahannya. Rahel merasa Tuhan sedang mengingatkan dirinya untuk tidak emosional dan mendadak sombong.
Dia menjawab Fitri, “Nggak papa. Besok pagi kalau sudah ada, tolong diisi ya.”
Rahel melanjutkan ceritanya:
Kemudian mbak Fitri pergi, dan saya mengecek anak-anak saya yang sedang tidur. Kurang lebih lima belas menit kemudian mbak Fitri datang kembali membawa satu pak tissue untuk pantry dan dua dus tissue untuk ruang tamu.
“Bu, saya tanya semua temen-temen saya siapa yang kira-kira masih pegang tissue pantry. Saya bilang pasien saya butuh. Ini saya dapat satu, bu.” Sementara dia langsung ngacrit pergi mengisi tissue, saya jadi bengong.
Apa manager rumah sakit ini tahu, bahwa mereka memiliki paling tidak satu orang petugas kebersihan yang sangat berdedikasi, ramah, dan cekatan? Apakah mereka tahu… atau mereka pernah peduli? Saya tidak akan sungkan untuk mendatangi kepala bagian kebersihannya untuk memberi tahu tentang stafnya yang baik ini.
Dalam satu waktu di kehidupan ini, seseorang berhak untuk dihargai atas segala usaha dan upaya yang sudah dilakukannya. Someone must do it, and it could be us.
Mbak Fitri selesai membersihkan kamar kami sekali lagi. Sebelum ia pergi, saya memberinya dua dus besar kue. “Buat dimakan bareng-bareng sama temen-temen cleaning service yang lain. Saya masih banyak makanan disini.”
“Makasih ya, bu,” katanya.
“Saya yang terima kasih,” kata Rahel sambil memberikan senyumannya yang ia rasa paling kece.
Rahel berpikir bahwa banyak orang yang ketika sedang berada dalam kondisi terburuk, atau sedang susah payah, sedih, marah, kecewa, lelah, atau galau, memilih untuk menyeret semua orang disekitarnya untuk merasa yang sama seperti mereka. Rahel melihat ini bagaikan sebuah virus energi negatif yang menyebar.
Rahel menutup kisahnya begini:
“Kalau aku susah, ya orang lain harus susah juga!” Begitu kan?! Kau tahu? Kita bisa memilih untuk tidak menjadi seperti itu. Bahkan di saat kita sedang dalam keadaan tidak beruntungpun, kita bisa mensyukuri kebaikan Tuhan yang ditunjukkan melalui siapa saja dan apa saja.
Salam sehat dan bahagia dari saya.
Rahel Yosi Ritonga