Tahu dan bertindak. Suatu sore di hari kerja, selesai melaksanakan tugas, saya berkendaraan di sebuah jalan yang terbilang ramai di Jakarta Selatan. Karena belum waktunya jam pulang kerja untuk perkantoran, maka jalanan saat itu tidak dipenuhi kendaraan. Dalam istilah sehari-hari disebut longgar. Hal itu bisa dilihat dalam foto.Jika foto itu diperhatikan tampak bahwa antara mobil saya dan dua mobil di depan ada jarak beberapa meter. Sengaja begitu karena saya ingin memotret situasi jalan tersebut dan juga kedua mobil itu supaya juga termuat dalam foto.
Semula, dari kejauhan, mobil-mobil itu meluncur dalam kecepatan sedang. Tetapi, saat lampu hijau akan berubah ke merah, dengan cepat mobil Nissan Evalia (kanan) ngebut. Maksudnya supaya masih ‘kebagian’ warna hijau. Apa daya, lampu telah berganti merah. Nissan itu pun terpaksa berhenti meski sudah sedikit lebih maju dari batas garis berhenti. Posisinya pun agak ke kanan sebagaimana terlihat pada ban sisi kanan yang menginjak garis putih.
Adakah kesalahan yang dilakukan pengendara Nissan Evalia itu? Tentu ada. Perubahan lampu dari warna hijau ke merah tidak tiba-tiba. Didahului dengan warna kuning. Maksudnya adalah kalau kita dalam posisi sudah maju dan nanggung untuk berhenti, maka warna kuning itu maksudnya kita diizinkan terus. Tetapi, jika kita masih beberapa puluh meter dari lampu, dan kita tahu lampunya berubah menjadi kuning, maka itu artinya kita menginjak rem agar laju mobil kita ditahan untuk kemudian berhenti. Jadi, sang pengendara Nissan tidak menjalankan apa yang dia ketahui (dia tahu warna lampu itu bukan?! Dan dia tahu arti warna lamput itu bukan?!).
Pengetahuan masyarakat tentang tatacara berlalu-lintas dengan berpatokan lampu lalu lintas tampaknya hanya sebatas pengetahuan di kepala. Seringkali diabaikan. Apalagi pengendara sepeda motor yang sangat sering berperilaku seolah-oleh tidak ada lampu lalu lintas.
Kesalahan lain dari Nissan Evalia itu, meski tidak dianggap penting oleh kebanyakan orang, adalah menempatkan mobil pada posisi menginjak garis. Garis berfungsi sebagai pembatas imajiner. Kalau pembatas dilanggar, maka mengundang bahaya. (Banyak orang yang ‘pemberani’, konon katanya begitu, sehingga menjadi tidak takut bahaya apa pun.)
Karena posisi Nissan Evalia sudah cenderung ke kanan, maka ada lowong antara mobilnya dengan mobil putih di lajur tengah. Lowong ini memancing orang lain, yaitu pengendara sedan BMW untuk memanfaatkan lowong itu. Maka dengan tenangnya pengendara BMW mengambil posisi lowong itu. Tujuannya adalah supaya bisa cepat melaju begitu lampu lalu lintas menjadi hijau.
Kita bisa memperhatikan bahwa ada kekeliruan yang dilakukan, yaitu menginjak garis putih. Dalam kondisi jalanan yang longgar, sebenarnya mobil-mobil dapat mengambil posisi yang teratur yaitu pada tengah antara garis di sisi kanan dan garis di sisi kiri. Dalam keadaan jalanan yang padatlah maka bisa dimengerti pemanfaatan lebar jalan yang aslinya untuk tiga jalur menjadi untuk empat jalur.
Tahu dan bertindak. Tetapi, seberapa banyak masyarakat tahu soal-soal begini. Tentu saja, pengendara dituntut menjadi bijak. Belajar tahu, mencari tahu, agar ketertiban bisa diciptakan bersama. Sayangnya, yang sudah tahu seringkali pura-pura tidak tahu.
Ada sebuah kutipan dari Bagawad Gita yang berbunyi “The wise see knowledge and action as one.” Bahwa orang bijak memandang pengetahuan dan tindakan sebagai satu kesatuan, bukannya memisahkan pengetahuan dari tindakan. Kalau memang tahu, semestinya ya bertindak sesuai apa yang diketahui. Kalau keduanya dipisahkan, maka yang terjadi adalah Omdo, Omong Doang.
Oleh: Hendri Ma’ruf
gambar:all-free-download & dokumentasi pribadi
Tahu dan bertindak.