Belajar dari Buaya: Sang Predator Berorientasi Hasil

Belajar dari Buaya: Sang Predator Berorientasi Hasil

Tulisan ini dirangkum dari “Belajar dari Buaya: Sang Predator Berorientasi Hasil”

Masih segar dalam ingatan kita betapa negeri ini diguncang kasus Cicak vs Buaya yang menggambarkan “konflik” antar KPK dan Kepolisian. Buaya pun langsung menjadi hewan yang berkonotasi buruk karena dikaitkan dengan sikap polisi yang dianggap “sewenang-wenang”.oleh sebagian besar publik dalam menahan para pejabat KPK. Alhasil, buaya semakin menduduki posisi yang kurang terhormat apalagi mengingat frasa kata “buaya darat” dan “airmata buaya” juga memiliki makna yang kurang mengenakkan.

Padahal dalam literatur kepemimpinan, buaya punya banyak sikap positif. Misalnya, ia disiplin dan fokus. Rhenald Kasali mengutip Joseph White, mantan Rektor University of Illinois, pernah mengutarakan, buaya adalah hewan berdarah dingin yang cocok untuk menyerang. Ia pemberani karena tidak perlu pergi beramai-ramai. Pergi sendrian pun dilakoninya. Ia memisahkan diri dari kawanan begitu melihat sasaran.
Selain itu, buaya bersikap disiplin, tidak suka menunda-nunda selalu mem-follow up dan kuat dalam hitung-hitungan ekonomi. Kemudian, seiring dengan bertambahnya usia sebagian buaya ternyata juga mengembangkan karakter-karekter baik seperti: mengasuh, mempercayai untuk melakukan delegasi dan penguatan tim serta mampu berkomunikasi dengan baik.

Karakter buaya seperti yang dilukiskan White ini cocok dengan tipe kepemimpinan yang dinamakan kepemimpinan eksekutor. Dalam Alpha Male Syndrome, Ludeman dan Erlandson mengklasifikasikan alpha male (secara harfiah berarti pria unggulan, berlaku juga bagi wanita unggulan) menjadi empat tipe. Eksekutor, Strategist, Visionary, Commander. Tipe Alfa yang mirip dengan buaya adalah Eksekutor. Sifat Alfa eksekutor adalah memburu hasil tanpa kenal lelah, hebat dalam hitung-hitungan, memberikan masukan balik dan menggerakkan orang-orang untuk bertindak. Kelemahannya, mereka terlalu mengurusi hal-hal mikro, tak sabar, amat kritis, awas terhadap kelemahan, suka memperlihatkan ketidakpuasan alih-alih apresiasi.

Mantan Wakil presiden Jusuf Kalla adalah termasuk tipe pemimpin seperti ini. Lihat saja, betapa tangkasnya ia mengatasi berbagai permasalahan. Andilnya tak dapat dipungkiri dari perdamaian Aceh. Akan tetapi ia memang sering kedapatan tak sabar dan acap mengkritik bawahan secara ganas langsung di depan publik kala menjabat wakil presiden. Yang lebih berani lagi, Kalla kerap berbeda pendapat dengan bosnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan bahkan berani menyuarakan pendapatnya secara terang-terangan. Perbedaan yang kerap terjadi sampai membuat orang menjuluki pasangan ini sebagai “matahari kembar dalam pemerintahan”.

Contoh lain karakter buaya adalah Bob Sadino. Ia adalah pengusaha yang berangkat dari nol, tapi kemudian bisa mengembangkan bisnisnya hingga besar dan bertahan lebih dari 40 tahun. Dalam kesehariannya Bob Sadino jauh dari kesan formal. Gayanya santai dan jauh dari kesan birokratis. Orang-orang memanggilnya dengan “Om Bob”. Saat berbicara Bob sangat spontan dan blak-blakan. Bagi Bob, kelenturan berpikir adalah modal yang sangat berharga dalam mencapai kesuksesan berwiraswasta. Dengan kelenturan itulah tembok-tembok kegagalan bisa dikalahkan. Modal berharga lainnya menurut Om Bob adalah ketangguhan, semangat kewirausahaan (entrepreneurship) dan keberanian mengambil peluang yang ada.

Sumber: Animal Based Management, Rahasia Merek-Merek Raksasa Berjaya, Satrio Wahono & Dofa Purnomo, GPU, 2010
gambar: wallpaperup.com

Newer Post

Leave a Reply

Your email address will not be published.