Jangan salahkan nasib anda. Manusia memang merupakan makhluk unik dan aneh. Kita cepat menerima penghargaan atas kemenangan yang kita peroleh. Kita cenderung ingin dunia mengetahui kemenangan kita. Memang wajar jika kita menginginkan orang lain melihat kita karena kemenangan kita, itu sangat manusiawi. Tetapi sebaliknya, manusia juga dengan cepat menyalahkan orang lain atas setiap kemunduran, kesulitan, dan berbagai bentuk “perlawanan yang terjadi”.
Mungkin benar bahwa di dunia yang kompleks ini ada orang lain yang memang merugikan kita. Tetapi sangat benar juga bahwa kita lebih sering merugikan diri kita sendiri. Kita sering kali merugi karena “kekurangan” pribadi kita, mungkin beberapa kesalahan pribadi. Oleh karena itu, sekarang ini cobalah Anda bersikap objektif! Ingatkanlah diri Anda sendiri, bahwa Anda ingin menjadi manusia sesempurna mungkin secara manusiawi. Coba lihat, Apakah Anda mempunyai kelemahan yang tidak pernah Anda lihat sebelumnya? Jika lebih baik. Umumnya, orang begitu terbiasa dengan dirinya sendiri sehingga lalai melihat kekurangannya sendiri dan lupa bagaimana cara-cara untuk memperbaiki dirinya.
Saya pribadi, pernah punya pandangan keliru terhadap “nasib” saya. Lebih dari 15 tahun lalu, saya juga sering menyalahkan “nasib”, jika saya gagal dalam memperoleh sesuatu keinginan dan sasaran saya. Saya sering berkata, “Saya tidak tau kenapa begini, mungkin ini memang sudah jalan saya…” “Memang sepertinya ini sudah nasib saya, suratan takdir saya begitu….”. “Sepertinya nasib saya lagi sial tahun ini….”. tetapi itu adalah saya pada saat 15 tahun lalu, yang mungkin saja ada kesamaanya dengan Anda.
Sekarang saya telah berubah dalam menyikapi “nasib” ini. Daripada habis energi karena menyalahkan “nasib”, lebih baik Anda meneliti sebab-sebab “kekalahan”, “kemunduran”, atau “kerugian” apa pun bentuknya. Jika Anda dalam posisi kalah, belajarlah dari kekalahan itu. Kebanyakan orang menjalani kehidupannya untuk menjelaskan keadaan mereka yang “biasa-biasa” saja dengan “nasib sial” atau “nasib buruk”.
Mereka lupa bahwa mereka gagal melihat “peluang” untuk bertambah lebih besar, lebih kuat, dan lebih percaya diri dalam mengarungi samudera kehidupan selanjutnya. Berhentilah menyalahkan “nasib”. Menyalahkan “nasib” tidak akan pernah membawa Anda ke tujuan kehidupan yang Anda idam-idamkan. Ketahuilah bahwa Tuhan menciptakan dunia ini dalam bentuk yang seimbang, ada hukum keseimbangan yang harus selalu Anda ingat. Ada hukum sebab-akibat yang mutlak. “Nasib baik” atau “Nasib buruk”, semuanya merupakan sebab dan akibat hukum universal.
Anda saya ingatkan lagi dengan kisah spektakuler dari Thomas Alva Edison, sang penemu bola lampu pijar. Anda tahu berapa kali Edison mencoba agar bola lampu pijarnya bisa menyala? Konon pada percobaan yang hampir ke 10.000 kali, Edison akhirnya berhasil membuat bola lampu pijarnya benar-benar “berpijar” menyala terang.
Kalau kita cermati kisah Thomas Alva Edison, ada hal bisa kita petik sebagai pelajaran, yaitu “ketekunan” dalam percobaan atau “eksperimen” pasti membuahkan hasil luar biasa. Thomas Alva Edison benar-benar memiliki “ketekunan” dalam “eksperimen” bola lampu pijarnya. Dia selalu melihat “sisi baik” dalam setiap percobaan yang gagal. Dia juga menolak tegas rasa “putus asa” atau “frustasi”. Dia juga memiliki “keberanian” mengkritisi dirinya sendiri secara “konstruktif”, menyelidiki kesalahan dan kelemahannya untuk kemudian diperbaiki. Edison telah berhasil mempelajari “kemunduran” untuk melicinkan jalan menuju keberhasilan. Dia berhasil belajar dari “kekalahan” untuk meraih “kemenangan” pada kesempatan berikutnya. Dalam Al-Qur’an, surat Al-Muddatsir, ayat 37 – 38 dinyatakan, “(yaitu) bagi siapa saja di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur. Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”.
Maju terus! Itulah keputusan yang diambil Thomas Alva Edison. Dia memutuskan untuk maju terus dalam setiap usahanya menciptakan bola lampu pijar. Apa pun yang dialaminya dalam proses membuat bola lampu itu, dia tetap bersikukuh untuk melangkah maju, pantang mundur. Kegagalan yang di alami oleh Edison hanya bermakna “kegagalan di mata orang lain”, tapi dalam pandangan Edison, “kegagalan” itu merupakan “kemajuan” yang harus diraihnya sampai bola lampu pijar tersebut akhirnya benar-benar tercipta. Edison sangat meyakini bahwa semua tindakannya menciptakan bola lampu itu adalah tanggung jawab pribadinya, dan dia memutuskan untuk mengambil tanggung jawab tersebut. Sikap seperti itulah yang dimaksud oleh Ayat suci Al-Qur’an di atas. Manusia bebas untuk berkehendak, mau maju atau mau mundur, itu terserah Anda, Allah tidak akan ikut “campur tangan” di awal Anda mengambil keputusan itu.
Saya akan mencoba membuat sebuah “resume” kisah Thomas Alva Edison yang bisa Anda gunakan sebagai acuan bagaimana sebaiknya bersikap terhadap “nasib”. Perbedaan antara “keberhasilan” dan “kegagalan” dapat ditemukan pada sikap dan respons orang terhadap kemunduran, keputus asaan, kesengsaraan, kesulitan, dan berbagai situasi lainnya yang jelas-jelas mengecewakan.
Dari kisah Edison, kita bisa mengambil beberapa pedoman untuk kita jadikan pegangan untuk mengubah “kekalahan” menjadi “kemenangan”, yaitu menggabungkan sifat ketekunan dengan eksperimen; memiliki keberanian “mengkritisi” diri sendiri secara “konstukrtif”; mempelajari “kemunduran” untuk melicinkan jalan menuju “keberhasilan”; selalu melihat “sisi baik” dalam situasi apa pun; dan berhenti menyalahkan “nasib”. Ingatlah selalu bahwa nasib itu ada di tangan kita sendiri. Tuhan tidak akan mengubah nasib Anda, sebelum Anda melakukan tindakan untuk mengubah nasib Anda lebih dulu.
Sumber: Wuryanano, Mengapa doa saya selalu dikabulkan, Gramedia.
gambar: forwallpapers.com
Jangan Salahkan Nasib Anda