Oleh: Jansen Sinamo.
Pada akhir Perang Dunia Kedua, Jerman dan Jepang kalah telak dan luluh lantak oleh Sekutu.
Tetapi tak sampai 5o tahun kemudian, Jerman dan Jepang masing-masing bertiwikrama menjadi bangsa paling maju di Eropa dan Asia baik secara sains-teknologis maupun bisnis-ekonomis. Mengapa bisa demikian? Jawabnya ditemukan di wilayah rohani. Tepatnya, etos dan budaya kerja mereka ternyata tidak ikut hancur lebur. Yang hancur cuma gedung, jalan raya, dan infrastruktur fisik lainnya. Tetapi the spirit within their heart tetap utuh. Dan inilah makna pertama dari kata etos.
Kiranya semua bangsa perlu belajar dari kedua bangsa ini. Menurut Max Weber, intisari budaya dan etos kerja bangsa Jerman dapat disarikan sebagai berikut:
1. Bertindak rasional
2. Berdisiplin tinggi
3. Bekerja keras
4. Berorientasi pada kesuksesan material
5. Hemat dan bersahaja
6. Tidak mengumbar kesenangan
7. Menabung dan berinvestasi
Di Timur, orang Jepang menghayati Etos Bushido (etos para samurai = the way of the samurai) yang bersumber dari perpaduan filsafat Konfusianisme, Buddhisme, dan Shintoisme yang kemudian merupakan karakter dasar budaya kerja bangsa Jepang. Etos Bushido menurut Robert Bellah (1957) tersebut terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut:
1. Gi: Keputusan yang benar diambil dengan sikap yang benar berdasarkan kebenaran;
jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, sebab kematian yang
demikian adalah kematian yang terhormat.
2. Yu:Berani dan bersikap kesatria.
3. Jin: Murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama.
4. Re: Bersikap santun; bertindak benar.
5. Makoto: Bersikap tulus yang setulus-tulusnya; bersikap sungguh yang sesungguh-
sungguhnya; tanpa pamrih.
6. Melyo: Menjaga kehormatan, martabat dan kemuliaan.
7. Chugo: Mengabdi dan loyal.
Kiranya juga jelas, kemajuan Jepang dalam kancah perekonomian dunia dapat dipahami
sebagai akibat logis dari etos kerja di atas. Manajemen Jepang yang berintikan kaizen (proses
perbaikan inkremental berkesinambungan) jika diperiksa dengan saksama, memang hanya
mungkin berhasil jika didukung oleh etos kerja Jepang di atas atau yang setara dengannya.
Karena itu sangat kuatlah alasan bagi setiap pemimpin dan guru untuk sungguh-sungguh
mengembangkan etos kerja segenap warga organisasinya. Tanpa etos yang sesuai, maka
keberhasilan yang dicita-citakan hanyalah impian kosong di siang-bolong; artinya kita tetap
edan di zaman edan yang semakin edan ini.
Selanjutnya, berikut ini dengan ringkas dipaparkan 8 Etos Kerja Profesional, yang adalah juga
roh keberhasilan yang penuh semangat, penuh kesusilaan, dan sarat moralitas luhur.
Etos 1: Kerja adalah Rahmat; Aku Bekerja Tulus Penuh Kebersyukuran.
Rahmat adalah pemberian baik yang kita terima bukan karena jasa atau prestasi kita,
tetapi karena kebaikan sang pemberi. Jadi, respons yang tepat hanyalah bersyukur dan
berterimakasih.
Kerja adalah rahmat, maka harus disyukuri setidaknya karena dua alasan. Pertama,
kerja secara hakiki adalah rahmat Tuhan; lewat pekerjaan hidup kita dipelihara-Nya.
Kedua, di samping upah finansial kita juga menerima banyak sekali faktor plus dari
pekerjaan, misalnya kesempatan belajar, mengunjungi negeri asing, membangun relasi
dengan banyak orang, dan sebagainya. Faktor-faktor plus ini pun adalah rahmat juga.
Karena itu kita akan tergerak untuk bekerja dengan hati yang ikhlas dan tulus. Bekerja
tidak sambil bersungut-sungut, wajah merengut, bibir mengeluh, mulut mengaduh,
serta hati menggerutu dan mengomel; karena kita sadar bekerja adalah bentuk terima
kasih kita kepada Tuhan, negara, atau pemilik perusahaan dan manajemen yang telah
membuka lapangan kerja. Kita telah lebih dahulu menerima dengan limpah, maka kita
pun patut bekerja dengan rasa syukur yang berlimpah pula.
Menyadari bahwa rahmat selalu melimpah, kita pun terimbas untuk bermental limpah
terhadap sekeliling kita, sehingga lama-kelamaan akan membentuk karakter limpah
ruah (abundance character). Penampakannya bermacam-macam: senang menolong,
tak kenal pelit, tak takut kekurangan, selalu merasa ada alternatif, mampu memberi
kemudian menerima, bersedia menabur kemudian menuai, bersikap kontributif dan
positif.
Orang berkarakter limpah ruah memiliki jiwa besar karena sadar bahwa Sang Maha
Pemberi selalu memberkati kita dengan limpah. Dengan jiwa besar, hati bersyukur dan
jiwa besar kita selalu diliputi sukacita dan rasa bahagia. Sukacita kerja pada gilirannya
membuat kita selalu produktif, bebas dari perasaan tertekan, sehingga mampu menjadi
aktor positif dalam menciptakan suasana kerja yang ceria dan gembira, serta selalu
menjadi protagonis dan tak pernah antagonis.
Etos 2: Kerja adalah Amanah; Aku Bekerja Benar Penuh Tanggung Jawab.
Amanah adalah titipan berharga yang dipercayakan pada kita. Melalui kerja kita
menerima banyak amanah sehingga wajiblah kita bekerja dengan benar penuh tanggung
jawab.
Pemilik modal menitipkan usahanya, manajemen mempercayakan tugas-tugas
manajerial, pelanggan mengandalkan kontinuitas pasokannya, dan pemasok
mempercayakan barangnya dengan pembayaran kemudian.
Keluarga juga menitipkan amanah: agar kita selalu membawa pulang nafkah halal setiap
hari ke rumah melalui pekerjaan yang baik dan positif. Kita juga menerima pekerjaan
sebagai amanah dari negara, bangsa, dan Tuhan kita. Pendeknya, banyak kebutuhan
pihak lain, yakni para konstituen-klien-pelanggan dipercayakan pada kita. Konsekuensi
moralnya, kita dituntut melaksanakan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya dan
sebenar-benarnya; tidak boleh dikorupsi, dimanipulasi, dikurangi, atau dicuri. Kejujuran
dan integritas menjadi sangat pokok dalam pelaksanaan amanah.
Sebagai pemegang amanah kita harus tepercaya (andal secara moral) dan kompeten
(andal secara teknis) dalam pelaksanaan amanah tersebut. Konsekuensi logisnya: kita
akan bekerja dengan sistematik dan terencana dan rencana kerja tersebut kita kerjakan
dengan saksama hingga tuntas: tidak boleh menunda-nunda dan semena-mena,
melainkan merampungkannya sampai beres dengan benar.
Jika seseorang mampu bekerja penuh amanah, maka secara psiko-spiritual akhlak
terpercaya penuh kompetensi semakin terbentuk kuat dalam dirinya. Di pihak lain,
sepasang akhlak ini menjadi jaminan sukses bagi pelaksanaan amanah itu sendiri.
Dalam kondisi inilah kita berada dalam modus melakukan pekerjaan yang benar,
dengan tujuan yang benar, dengan sikap yang benar, dengan metoda yang benar, serta
menggunakan data yang benar pula.
Secara empiris, kita banyak melihat bahwa orang yang sukses mengemban amanah kecil
akan mendapat amanah yang lebih besar. Lagi-lagi, karakter tepercaya penuh
kompetensi tampil sebagai modal sukses. Boleh dikatakan, di atas karakter inilah
dibangun prestasi kerja yang pada gilirannya membuat kita berharga dan dihargai para
konstituen-klien-pelanggan kita. (bersambung)
Sumber: Jansen Sinamo, 8 Etos Kerja Profesional. Jakarta: Institut Darma Mahardika, Cetakan ke-10, 2011
gambar: lcet.org