Uwais Al-Qorni

Uwais Al-Qorni

Uwais Al-Qorni.

Yaman, 1500 tahun lalu.

Uwais duduk termenung. Ia memikirkan kata-kata ibunya barusan. “Uwais, usia ibu sudah tidak lama lagi. Sebelum itu terjadi, ibu ingin menunaikan ibadah haji,” ujar ibunya.

Karena lumpuh yang dideritanya, Ibunda Uwais hanya bisa berbaring di tempat tidur sepanjang hari. Penglihatannya pun sudah tidak berfungsi dengan baik.

Uwais hanya tinggal berdua dengan ibunya. Mereka keluarga miskin. Untuk kehidupan sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala ternak orang lain. Upahnya ia belikan kebutuhan sehari-hari.

Tidak seperti pemuda lain, Uwais praktis tidak punya waktu untuk bersenang-senang. Selain karena ia memilih untuk merawat ibunya, juga karena sakit yang pernah dideritanya (sopak/ kusta), sehingga ia sulit mendapat teman karena anggapan orang mengenai penyakit itu.

Musim haji masih setahun lagi. Masih banyak waktu. Namun begitu, Uwais belum bisa menemukan cara bagaimana memberangkatkan haji ibunya.

Uwais tinggal di Yaman. Jarak ke Mekkah sangat jauh. Biasanya orang-orang pergi haji naik unta. Itu pun memakan waktu dan dengan melewati medan yang tandus dan panas. Tapi, jangankan unta, untuk hidup sehari-hari pun Uwais harus berjuang mendapatkannya.

Uwais sungguh tak ingin mengecewakan ibunya. Ia berpikir bagaimana mencapai Mekah tanpa naik unta? Sebuah pertanyaan yang absurd kala itu. Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri.

Beli unta? Mesti nabung berapa lama? Tanpa unta? Apa penggantinya? Jalan kaki? Berapa lama? Barang-barang bagaimana? Tapi ibu tidak bisa berjalan.. Cara lain? Berhari-hari ia berpikir hingga akhirnya ia mendapatkan sebuah ide. Sedikit demi sedikit ia mulai menyisihkan sebagian upahnya. Hingga pada akhirnya, ia membeli seekor anak lembu kecil yang masih bisa digendongnya.

Anak lembu itu ia buatkan kandang di atas bukit. Selain tetap bekerja sebagai penggembala ternak, ia meluangkan waktunya untuk lembu itu. Setiap hari ia bolak-balik naik turun bukit sambil menggendong anak lembu itu. Karena setiap hari Uwais melakukannya, lama-lama orang-orang disekitarnya menganggapnya gila. “Sudah penyakitan, miskin, sekarang gila pula,” mungkin itu yang dikatakan orang dibelakang punggungnya.

Semakin lama lembu Uwais Al-Qorni semakin besar. Demikian pula tenaga yang dikeluarkan Uwais untuk menggendongnya. Tetapi karena ia menggendong lembu itu tiap hari, berat yang dirasakannya tidak seberapa. Setelah 8 bulan berlalu, tibalah musim haji. Lembu milik Uwais beratnya mencapai 100kg, begitu juga dengan otot Uwais yang semakin besar dan kuat.  

Ketika Uwais bersiap berangkat haji, saat itulah orang-orang itu tahu, selama ini ia berlatih untuk menggendong ibunya ke Tanah Suci6).

Jika jarak Jakarta – Bali 1113km, maka hanya dengan menambah 56km lagi, itulah jarak ibu kota Yaman ke Mekkah. Jarak ini memang tidak berarti jika kita menggunakan transportasi udara.

Tapi bayangkan.. Uwais berjalan kaki! 

Dan menggendong Ibunya sepanjang perjalanan dengan cuaca gurun yang panas terik.

Selama berbulan-bulan ia berlatih menggendong lembu, mengabaikan semua olok-olok orang yang mengatakannya gila, demi memenuhi permintaan terakhir ibunya.

Semoga, kita bisa bercermin dari Uwais, salah satu eksekutor handal dimasanya, dan bertanya.. apa yang sudah kita berikan untuk mimpi-mimpi kita…

Sumber dan gambar: wyl, wiki

Leave a Reply

Your email address will not be published.