Tips interview agar tak tertipu kesan pertama dipublikasikan oleh Tanya Menon dan Leigh Thompson, dua orang kontributor yang cukup aktif menulis di Harvard Business Review (HBR). Tanya Menon adalah professor of Management and Human Resources at the Ohio State University’s Fisher College of Business. Sedangkan Leigh Thompson adalah J. Jay Gerber Distinguished Professor of Dispute Resolution and Organizations at the Kellogg School of Management, Northwestern University. Di artikel berikut, beberapa hal minor dimodifikasi sesuai kebutuhan.
Dokter James, seorang dokter ahli mata terkemuka di sebuah klinik mata besar berencana untuk merekrut seseorang untuk menjalankan operasi bisnis praktiknya. Dengan hati-hati ia memilih lebih dari 200 CV pelamar yang masuk. Setelah mempertimbangakn banyak hal, akhirnya ia memutuskan untuk mempekerjakan Mike, seorang MBA yang tampaknya memenuhi semua kriteria yang dicari dr. James.
Namun, dalam beberapa minggu berikutnya, dr James menyadari bahwa ia telah membuat kesalahan besar dengan merekrut Mike. Apa yang disampaikan Mike dalam wawancara, ternyata tak terbukti dalam dunia nyata. Omdo – omong doang – kalo kata kamus gaul. Janji-janji manis saat interview tak satu pun ditepati. Dr James adalah korban pencitraan. Di bulan pertama saja Mike sudah membuat kekacauan di kantor.
Dia berkomunikasi dengan staff hampir selalu menggunakan email atau hanya mengirimkan excel untuk dilengkapi. Praktis tak pernah berbicara langsung. Jika meeting, selaluuuuu saja main HP. Kalo ditanya staff hanya memberikan bahasa tubuh yang bunyinya “masa gitu aja gak ngerti sih” terutama dalam hal akunting atau istilah finansial.
“Selama wawancara, saya kagum dengan kredensial dan pengetahuan keuangan yang dimiliki Mike. Dia sangat percaya diri dan lulus dari sekolah yang hebat,” kata dr. James saat ditanya oleh penulis. Tapi kemudian dia kemudian mengeluh ketika membandingkan apa yang dilihatnya saat wawancara dan kondisi keseharian di kantor. “Saya hanya melihat satu sisi dari diri Mike, dan yang terjadi di kantor adalah hal yang berbeda.”
Dr James membutuhkan waktu lebih dari setahun untuk membebaskan dirinya dari rasa bersalah yang dilakukannya. Lebih buruk lagi, itu membuatnya mempertanyakan penilaiannya sendiri saat wawancara. Tapi dr James tidak sendiri. Faktanya, hampir semua pemimpin yang diajak bicara penulis mengakui bahwa mereka juga pernah melakukan perekrutan yang salah selama karier mereka. Dan itu sangat merugikan mereka dalam hal waktu, uang, dan mental.
Kesan pertama terkadang dapat membuat jebakan berbahaya. Bagaimana caranya agar Anda bisa punya tips interview agar tak tertipu kesan pertama yang melampaui kesan dangkal dan menemukan substansi dalam 30 menit atau lebih dengan orang yang diwawancarai?
Dalam setiap perekrutan pegawai, pasti kita dihadapkan dengan ratusan resume dan lusinan orang yang akan kita wawancarai. Tidak jarang, karena waktu kita terbatas, kita tidak benar-benar mendalami apa yang ditulis oleh para kandidat yang sudah diseleksi. Dalam kasus dr. James, dia terkesima dengan kredensial Mike. Namun, hal itu menyebabkannya kehilangan fokus pada keterampilan dan atribut yang lebih relevan yang dibutuhkan perusahaan. Dia gagal mengevaluasi Mike secara ketat tentang kemampuannya untuk memotivasi dan memimpin staf.
The key is to distinguish between real and pseudo cues. A good example of a pseudo cue is the halo effect that may surround candidates due to physical attractiveness. People subconsciously feel attraction to a good-looking interviewee, and this pseudo cue positively biases their evaluation of the candidate’s unrelated skills.
Tips interview agar tak tertipu kesan pertama adalah dengan membedakan mana yang nyata dan mana yang semu. Yang semu contohnya adalah efek halo yang timbul karena ketertarikan fisik. Cantik, ganteng, dll. Orang secara tidak sadar tertarik pada kandidat yang berpenampilan menarik dimana hal ini menyebabkan bias pada penilaian akan kemampuan yang sesungguhnya dimiliki si kandidat. Jadi untuk menemukan kandidat terbaik, Anda harus menghilangkan isyarat semu yang menarik perhatian Anda dan yang tidak relevan dengan karakteristik pekerjaan yang dicari. Cek lagi kriteria yang dicari. Dari pada menggunakan feeling, gunakan metode yang menghasilkan parameter parameter yang dibutuhkan.
Teliti lagi data yang ada. Sukses dan tidaknya orang yang pernah ada di posisi itu sebelumnya karena apa. Jika kita membiarkan data yang berbicara, maka judgement kita karena efek halo akan berkurang sehingga kita akan lebih efektif memilih kandidat yang ada.
Dalam wawancara, kita juga perlu menghindari isyarat semu yang menurut Profesor Jeffrey Pfeffer dan Robert Sutton disebut dengan smart talk atau “pembicaraan cerdas”. Pembicara yang cerdas tampak “terdengar percaya diri, pandai berbicara, fasih, memiliki informasi dan ide yang menarik, dan memiliki kosakata yang baik.”
Untuk menghindari jebakan ini, pertimbangkan empat tip berikut:
1. Focus on behaviors instead of traits. Fokuslah pada perilaku, bukan trait. Resume dan surat lamaran yang dikirim kandidat, biasanya menyebutkan ciri khas mereka. Biasanya diisi dengan.. “Saya adalah sorang yang menyukai “team work”, atau“energik”, “analitik”, atau “kreatif”. Mereka akan menampilkan diri mereka sebaik mungkin agar tampil sebagai kandidat yang paling memenuhi syarat untuk posisi tersebut. Bagaimana cara kita tahu perilakunya sama dengan yang ditulis?
Tanyakan kepada kandidat, “Apa tiga hal yang paling Anda banggakan dalam enam bulan terakhir?” Catat pencapaiannya, tapi juga dengarkan bagaimana mereka mendeskripsikannya. Apa yang mereka lakukan, dan bagaimana mereka menggambarkannya? Apakah mereka menekankan pencapaian pribadi atau tim? Dengarkan apa yang tidak dikatakan, apakah mereka memuji rekan kerja mereka, bawahan mereka, atau siapa? Dari penjelasan yang dilakukan kita bisa tahu apakah kata-kata yang ditulis diresume tadi benar atau tidak.
2. Listen for learners. Tanyakan pada mereka, “Ceritakan tentang kegagalan yang pernah kamu alami.” Ini pertanyaan umum, tetapi ini dapat mengungkapkan banyak hal tentang orang tersebut. Apa penyebab kegagalan mereka? Apakah mereka menganggap kegagalan itu karena ketidakcocokan bekerja di area tersebut, atau karena nasib buruk, tugas yang sulit, atau karena apa? Masing-masing penjelasan ini akan mengarah ke hal yang berbeda. Ada yang mengakui kegagalan tetapi tidak melihat pembelajaran sebagai bagian dari proses. Dengarkan kandidat yang mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mereka ubah dan kendalikan lebih baik di masa depan. Inilah kandidat yang mampu melakukan refleksi diri dan pembelajaran dari kegagalan yang dialaminya.
3. Listen for conflict management skills. Psikolog organisasi Fred Fiedler dan rekan menyarankan pertanyaan kritis lainnya, “Ceritakan tentang rekan kerja Anda yang paling tidak disukai.” Jika Anda sedang merekrut untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan interpersonal yang kuat, dengarkan apakah mereka melabeli orang yang tidak disukai tersebut dengan label satu kata (misalnya, “orangnya sulit” atau “orangnya mikro manajemen”) atau mendeskripsikan dengan yang lebih kompleks (misalnya, “waktu itu kami tidak sepakat tentang bagaimana menyelesaikan pekerjaan karena kami mempunyai metode yang berbeda”). Label satu kata membuat orang hanya memiliki sedikit solusi untuk bekerja dengan orang lain. Deskripsi yang lebih kompleks memungkinkan orang untuk bernegosiasi secara produktif satu sama lain.
4. Look for nonverbal cues. Akhirnya, cobalah lihat isyarat apa yang disampaikan kandidat: bagaimana mereka mengatakannya? Jika Mike memancarkan kepercayaan diri saat diinterview dr. James, sebenarnya dr James menyadari bahwa isyarat nonverbal Mike menunjukkan perasaan berkuasa dan kepedulian yang rendah terhadap orang lain. Meskipun orang yang diwawancarai mungkin menunjukkan kepercayaan diri terbaik mereka, Anda mungkin dapat mendeteksi sinyal nonverbal tertentu yang menandakan bahwa itu bukan kepercayaan diri tetapi penghinaan, superioritas, dan rasa tidak hormat: misal, ia melakukan kontak mata saat berbicara dengan orang lain tetapi tidak saat orang lain itu berbicara padanya.
Pewawancara yang baik menghindari jebakan dari kesan pertama atau firasat yang timbul karena mereka mengenali ada faktor bawah sadar yang berperan selama wawancara. Anda dapat menggunakan teknik yang telah dijelaskan penulis untuk melihat dan mendengar lebih dalam, bahkan jika Anda hanya memiliki waktu singkat untuk memilih dan mewawancarai kandidat. Dengan demikian, Anda dapat menilai dengan lebih baik apakah orang tersebut cocok atau tidak untuk posisi tersebut. inilah tips interview agar tak tertipu kesan pertama sat wawancara kerja.
Sumber: Tips interview agar tak tertipu kesan pertama: HBR gambar: youngontop