Sungai Kedamaian. Bagi setiap sahabat yang lahir serta bertumbuh di desa, sungai adalah salah satu tempat bermain yang paling mendamaikan. Tidak saja menjadi tempat membersihkan badan, tapi menjadi tempat yang menyejukkan pikiran. Nyaman, aman, tentram bila berlama-lama tinggal di sungai. Ada aura kedamaian di sana.
Keinginan untuk lebih kaya, lebih terkemuka, lebih pintar serta keinginan lebih lainnya kemudian membuat kehidupan meninggalkan ketentraman desa, memasuki keriuhan kota lengkap dengan janji-janjinya. Tentu saja banyak sekali yang disediakan kota pada kehidupan. Dari pendidikan yang maju, fasilitas yang seba canggih, hingga hiburan yang berlimpah. Namun, bagi sejumlah pejalan kaki ke dalam diri yang pernah bercengkerama lama dengan kemewahan kota, suatu hari akan menyadari ada sesuatu yang hilang dalam keberlimpahan harta.
Ini yang bertanggung jawab kenapa sebagian orang kaya bernasib seperti ayam kelaparan di tengah lumbung padi. Tidak sedikit rumah mewah yang berhiaskan kolam renang menawan dihinggapi hawa panas yang tidak terjelaskan, atau tiba-tiba kehidupan bergerak ke sebuah arah dan semua arah itu adalah musibah.
Tidak semua orang kaya menderita. Tidak semua manusia sederhana berbahagia. Namun, merenung di atas tumpukan bahan ini, sejumlah pencari kemudian menggali, menggali, serta menggali ke dalam diri. Ternyata semuanya ada di dalam pikiran. Kehidupan bergerak dinamis seperti air mengalir di sungai. Namun, pikiran melalui segala konsepnya diam kaku seperti es yang membeku.
Hasilnya mudah ditebak, serupa taman warna-warni yang dipotret dengan film hitam putih, banyak nuansa yang hilang. Kehidupan bergerak dinamis sekali. Demikian dinamisnya sampai tidak ada satu konsep pun yang bisa memotretnya secara utuh. Namun, pikiran yang belum terlatih memaksa kencang agar kehidupan sama dengan konsep.
Hasilnya, dalam kebanyakan keadaan kehidupan berputar dari satu penderitaan ke penderitaan lainnya. Jangankan tatkala banyak utang, saat berlimpah uang pun penderitaan datang dibawa oleh rasa takut kehilangan yang berlebihan.
Di titik inilah manusia memerlukan space therapy. Penderitaan terjadi karena kehidupan bergerak seluas ruang, sedangkan pikiran belum terlatih memerkosanya menjadi sesempit cangkir yang kecil. Melalui kata mestinya, harusnya, seyogyanya, seseorang sedang memerkosa kehidupan yang seluas ruang menjadi sesempit cangkir kecil.
Pencerahan terjadi saat seseorang berhasil memecahkan cangkir pikirannya (baca: dari kebiasaan memandang yang serba memihak ke hal positif serta memandang yang negatif menjadi memandang semua apa adanya) kemudian memperlakukan semuanya tanpa terkecuali dengan penuh kasih sayang.
Ia serupa matahari. Baik di negara beragama mau pun di negara komunis, matahari memancarkan cahaya yang sama. Ia menyerupai bulan purnama. terang menawan tidak menyilaukan, sekaligus bisa dipantulkan oleh semua mangkuk yang berisi air tanpa perkecualian. Di tingkatan ini kehidupan berhenti dikunjungi penderitaan. Es yang kaku (baca: konsep yang dipaksakan) sudah cair menyatu dengan aliran sungai. Inilah sungai kedamaian.
Hanya, kedamaian yang sesungguhnya bukanlah kedamaian yang dinikmati sendiri tanpa kepedulian. Serupa air yang basah, laut yang bergelombang, kedamaian sesungguhnya adalah kedamaian yang lapar dengan tugas-tugas pelayanan. Itu sebabnya, Bunda Theresa tidak pernah merasa kelelahan dengan tugas-tugas pelayanan. Mahatma Gandhi tidak merasakan sakit sedikitpun saat melayani negerinya. Muhammad Yunus (pemenang hadiah nobel perdamaian dari Bangladesh) bahkan memperoleh hadiah nobel perdamaian melalui pelayanannya kepada orang miskin.
sumber: Gede Prama, Majalah Infobank no. 392, November 2011
gambar: dotsoft.info
Sungai Kedamaian