Presence adalah Kemampuan untuk sepenuhnya sadar dan menciptakan hubungan spontan dengan klien, menggunakan gaya yang terbuka, fleksibel dan percaya diri. (International Coach Federation – ICF)
Sesuai definisi di atas, presence merupakan kombinasi positif dari: sadar + menciptakan hubungan spontan + gaya terbuka + fleksibel + PD. Wkwkwkwk.. susah ya..
Presence dimulai dari detik minus x sebelum coaching dijalankan dan dibutuhkan selama proses coaching. No presence, no coaching. Sebenarnya, kalau kita bisa presence di setiap hal yang kita lakukan – tidak hanya saat coaching – pasti akan memberikan hasil yang lebih baik dari yang kita lakukan. ICF menjabarkan definisi presence di atas ke dalam 7 hal yaitu:
1. Is present and flexible during the coaching process, dancing in the moment.
Seorang coach di tuntut untuk dapat ‘hadir’ secara utuh saat sesi coaching berlangsung. Hadir orang dan pikirannya. Hadir badan dan jiwanya. Karena itu presence ini menjadi komponen dasar yang penting untuk kesuksesan sebuah sesi coaching. Hadir berarti tidak meletakkan hp, laptop, dan pernik-pernik di antara coach dan coachee (orang yang di coaching). Tidak berpikir bercabang selain buat coachee. Konsentrasi.
Dengan ‘hadir’ maka coach akan lebih mantap dalam sesi coachingnya sehingga ia akan dapat mengeksplorasi lebih baik, lebih fleksibel, PD, tidak takut ‘nyasar’ dalam bertanya dan lebih terbuka untuk isu-isu yang disampaikan oleh coachee. Proses coachingnya jadi enak banget. Baik coach maupun coachee menikmati prosesnya. Coachee tidak merasa diinterogasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang berulang dan kadang tidak jelas. Coachnya juga bisa dancing in the moment. Asik aja gitu.
2. Accesses own intuition and trusts one’s inner knowing—”goes with the gut.”
Coaching bukanlah melulu mengikuti model yang digunakan. GROW misalnya, atau FUEL (baca: PAS Coaching Model di slideshare.net/t4pt3n). Ini tentang bagaimana kita sebagai coach bisa memahami orang lain melalui interaksi yang terjadi sehingga intuisi kita juga ikut ‘ngomong’. Jika kita mendengarkan dengan benar, kita tidak akan ketakutan kehilangan fakta dan opini yang disampaikan coachee. Nanti tiba-tiba mengalir saja pertanyaannya. Dulu waktu coach saya bilang seperti itu, langsung diri saya bilang,”Yakin Wan, berani? Gak nyatat?”
3. Is open to not knowing and takes risks.
Kalau belum tahu gak apa-apa bilang belum tahu. Dari pada nanti tersesat saat coachee terlanjur jauh cerita dan kita nebak-nebak apa maksudnya. Ini kesalahan fatal lho. Bisa gak presence jadinya, karena otak kita akan berusaha menyambung-nyambungkan cerita yang disampaikan dengan istilah yang belum kita ketahui tadi. Dan kemungkinan besar coachee akan tahu jika kita ternyata tidak tahu. Kan bahasa tubuh gak bisa bohong.
“Lho, bukannya coach harus tahu permasalahannya?”
“Betul.”
“Lantas, kalo ada yang gak tahu gimana?”
“Tanya saja ke coacheenya.”
“Gak apa-apa tuh?”
“Gak apa-apa. Normal kan, orang tidak tahu kemudian bertanya.”
Tapi nanyanya ikutin pakem-pakemnya ya. Jangan kayak interogasi, kasihan coacheenya. Selesai coaching bukannya seger, malah kesel. Besoknya kapok ditanya-tanya lagi.
4. Sees many ways to work with the client and chooses in the moment what is most effective.
Coachee itu beraneka ragam sifat dan perilakunya. Demikian pula coachee melihat kita sebagai coach, beraneka ragam juga. Ada coachee yang tertib dan rajin menjalankan apa-apa yang sudah disepakati bersama untuk dijalankan. Ada juga coachee yang – anehnya –apa yang sudah disampaikannya selalu meleset saat dikerjakan, tetapi dengan alasan yang berbeda-beda. Bener si alasannya, tapi kenapa hal-hal itu yang dipakai sebagai alasan, itu yang unik. Tinggal pintar-pintar kita bagaimana caranya agar proses coaching yang sudah dijadwalkan dapat dijalankan.
5. Uses humor effectively to create lightness and energy.
Humor tidak selalu digunakan dalam setiap sesi coaching. Penggunaannya pun hanya untuk dua hal: untuk meringankan agar topiknya tidak menjadi berat dan untuk memberikan energi tambahan bagi coachee.
6. Confidently shifts perspectives and experiments with new possibilities for own action.
Kalimat nomor 6 ini mengingatkan saya pada kata-kata Hellen Keller. “Ketika ada satu pintu tertutup, ada pintu lain yang terbuka. Namun sering kali kita menatap pintu yang tertutup itu sedemikian lamanya sehingga kita tidak menyadari ada pintu yang terbuka untuk kita.”
Saat coachee menyampaikan apa yang diharapkan dari sesi coaching (misal A), maka yang dilakukan coach adalah menggali informasi yang ada agar coachee mendapatkan awareness dari kondisinya. Terkadang proses di dalam sesi coaching membuat coachee menyadari bahwa yang dicarinya bukanlah kondisi A, tetapi B, yaitu kondisi yang di dapat setelah mengeksplorasi hal yang ada.
Pada kondisi seperti ini yang bisa dilakukan coach adalah memberi pilihan kepada coachee apakah yang diinginkannya masih tetap A atau berubah menjadi B. Kita tidak boleh memaksa coachee, tetapi kita bisa mengajak coachee menimbang-nimbang mana yang akan dipilihnya, A atau B.
7. Demonstrates confidence in working with strong emotions and can self-manage and not be overpowered or enmeshed by client’s emotions.
Intinya begini, sebagai coach kita tidak larut pada apa yang disampaikan coachee. Berempati boleh, tetapi tidak terbawa emosi coachee. Kalau sudah begini, maka coach tidak akan bisa memberi perspektif yang segar karena posisi dia sudah sama dengan posisi coachee. Akhirnya sesinya menjadi sesi curhat yang berkepanjangan.
Jika diteruskan, dalam waktu yang tidak lama, percaya diri coach akan memudar seiring dengan kegagalannya untuk mengajukan pertanyaan yang tepat. Gara-gara apa? Gara-gara larut dalam emosi coachee.
sumber: 30 Hari Melatih Presence, Iwan Pramana, Insan Mandiri Cendekia, 2019. gambar: medium