Kepik adalah binatang kecil yang berwarna sangat indah. Anak-anak menyukai warnanya yang cerah dan berkilatan. Para tukang kebun menganggapnya teman karena kepik gemar memangsa ulat-ulat dan binatang-binatang kecil yang merusak bunga-bunga mereka. Orang-orang Perancis menyebutnya sebagai “makhluk kecil utusan Tuhan”. Bagaimana sampai kepik mendapat sebutan demikian ? Inilah ceritanya.
Pada masa yang telah silam, hiduplah seorang bangsawan yang memiliki sebidang tanah yang sangat luas. Sang Bangsawan memiliki seorang adik yang sangat dicintainya. Namun, pada suatu hari, sang adik di temukan tewas di sebuah lapangan rumput. Beberapa barang berharga lenyap dari tangannya.
Oh, betapa sedih hati sang kakak. Karena cintanya kepada sang adik, ia bersumpah akan memperlakukan pembunuhnya dengan cara kematian yang sama dengan kematian adiknya. Dia lalu mengumpulkan para prajurit dan memerintahkan mereka mencari si pembunuh.
Esok harinya, muncul Krondas, seorang punggawa yang menjadi tangan kanan Bangsawan. Tugas Krondas adalah mengurusi daerah kekuasaan majikannya. Krondas melapor, “Tuanku, hamba berhasil telah menangkap si pembunuh.” Dia tersenyum lebar, menunjukkan seringai sebagai tanda puas setelah berhasil melakukan suatu usaha besar.
“Benarkah itu, Krondas?” Tanya sang Bangsawan, setengah tidak percaya.
“Benar, Yang Mulia. Hamba mempunyai bukti-bukti kuat untuk menangkap si pelaku. Hamba tidak main-main, Yang Mulia.”
“Seret penjahat itu kemari!”
Tidak lama kemudian, orang yang disangka pembunuh itu dibawa menghadap sang Bangsawan. Tertuduh adalah seorang buruh tani muda, bertubuh bidang, memiliki semangat tinggi, dan berwajah tampan. Dengan suara tegas dan bergetar, dia berkata bahwa tuduhan terhadapnya sama sekali tidak beralasan.
“Hamba tidak berbuat seperti yang dituduhkan punggawa Paduka yang mulia,” kata anak muda itu. Tetapi, Krondas cepat menukas, “Hamba memiliki bukti-bukti kejahatannya, Yang Mulia.” Ia lalu mengeluarkan sebuah dompet berisi uang dan sebentuk cincin emas bertatahkan berkalian dan ditunjukkannya kepada sang Bangsawan.
“Benda-benda ini saya temukan di dalam pondoknya,” ujar Krondas.
Sang bangsawan meneliti benda-benda itu. “Ya, benda-benda ini milik adikku. Nah, jelas anak muda ini telah melakukan pembunuhan terhadap adikku. Gantung dia besok pagi!”
Malam harinya, anak muda itu harus melewatkan masa-masa terasa yang sangat panjang dalam sebuah sel. Semalaman, ia tidak bisa memejamkan mata. Malam hari itu pula, sekelompok petani berusaha menghadap sang Bangsawan. Para petani itu bermaksud minta pengampunan terhadap rekan mereka yang mereka anggap tidak bersalah. Tetapi, mereka hanya berhasil menemui Krondas. Dengan dingin, Krondas tidak memenuhi permintaan mereka. Dia hanya menjawab singkat, “Bukti-bukti sudah ada di tangan saya!” Ia lalu menutup pintu rumahnya serta menyuruh para prajurit mengusir petani-petani itu.
Esok harinya, si tertuduh digiring ke tanah lapang oleh sekelompok prajurit bersenjata. Seluruh warga desa berkerumun memenuhi tanah lapang untuk menyaksikan pelaksanaan hukum mati. Mereka yakin anak muda buruh tani itu tidak bersalah.
Di tengah lapangan, terlihat setumpuk kayu bakar. Di tempat itulah, anak muda tersebut akan dibakar hidup-hidup. Ia diberi kesempatan untuk mengucapkan doa terakhir sebelum menemui ajalnya. Ketika ia hendak berlutut untuk berdoa, ada seekor kepik hinggap di depannya. Dengan lembut, dipungutnya kepik itu dengan ujung jari telunjuk dan jempolnya untuk dipindahkan. Tapi, kepik itu tidak mau pergi. Ia menempel pada punggung tangan lelaki malang itu, dan tetap berada di situ selama anak muda itu memanjatkan doa.
Ketika doa usai kepik itu lalu terbang ke arah Krondas dan menempel ditangannya. Dengan kasar krondas mengibaskannya dan coba membunuhnya dengan sengit. Semua kejadian kecil ini diamati sang Bangsawan dengan saksama.
Krondas tidak berhasil membunuh kepik itu. Mukanya memerah. Akhirnya, ia meninggalkan itu dan mengambil obor untuk menyalakan tumpukan kayu bakar.
Pada saat itulah Sang Bangsawan berseru, “Hentikan! Anak muda itu tidak bersalah!”
“Tapi, Yang Mulia, ia telah menyimpan dompet dan cincin hasil rampasan!” sahut Krondas.
“Tapi, mungkin saja ada orang jahat yang sengaja menyembunyikannya dalam pondoknya agar anak muda itu dicurigai. Jangan-jangan si pembunuh sendiri yang telah menyembunyikannya di sana,” potong sang Bangsawan.
Anak muda buruh tani itu kemudian dibebaskan. Dengan jujur, ia bercerita bahwa ia belum pernah melihat, apalagi memegang, dompet dan cincin yang diperlihatkan Krondas kepada sang Bangsawan. Sekarang, jelas bahwa si pembunuh adalah si Krondas sendiri.
Sang Bangsawan kemudian menjelaskan alasan ia mencurigai Krondas. Ucapnya, “Pada saat menjelang kematiannya, anak muda itu tidak tega membunuh makhluk sekecil itu.
Dia menyingkirkannya dengan lembut agar kepik itu tidak tertindih olehnya. Selanjutnya, kuperhatikan bagaimana Krondas dengan sengit telah berusaha membunuh binatang kecil yang hinggap ditangannya. Krondas, penjahat yang telah membunuh adikku adalah engkau sendiri!”
Akhirnya, Krondas mengakui kesalahannya. Ia menjadikan anak muda buruh tani itu sebagai kambing hitamnya agar ia tidak dicurigai. Dua kesalahan besar telah dilakukan Krondas: pembunuhan dan fitnah .Oleh karena itu, ia dijatuhi hukuman mati.
Sejak saat itu, orang-orang Prancis menganggap kepik sebagai binatang utusan Tuhan untuk menyelamatkan manusia yang tidak berdosa. Mereka lalu menganggapnya sebagai binatang keramat.
Pelajaran berharga: yakinlah bahwa kebenaran akan selalu menang.
Sumber: Kepik Sang Penyelamat, Kadir Wong.
gambar: animalhdwalls.com