Oleh: Sammy Kristamuljana.
Sepuluh tahun sejak terbitnya hasil riset Michaels, et al, (1997) “The War of Talent” orang berharap akan ada kemajuan yang signifikan dalam praktek Talent Management (TM). Nyatanya, 10.000 responden dari pimpinan puncak dan manajer SDM (Sumber Daya Manusia) mengungkapkan rasa frustasinya atas praktek Talent Management (survey McKinsey&Company 2006 & 2007)
“The War for Talent” telah berjasa memberikan bayangan tentang modal manusia bertalenta (talented human capital) yang menjadi fokus utama Talent Management. Sebagai kelompok 20 persen karyawan berkinerja paling tinggi dalam sebuah perusahaan atau karyawan “kelas A” mereka tergolong kepada “pekerja berpengetahuan” (knowledge workers) menurut istilah Drucker (1994). Kemampuan dalam meningkatkan produktivitas operasi, penjualan dan laba, minimal dua kali lipat kemampuan rata-rata karyawan, di samping “biaya” supervisi yang dibutuhkan atas mereka juga minim.
Berpegang pada bayangan itu, semua pihak tetap sepakat akan pentingnya Talent Management. Hasil survey tahun 2006 juga menunjukkan bahwa menemukan modal manusia bertalenta diakui sebagai tugas manajemen yang terpenting dalam dekade ini. Bahkan hasil survey tahun 2007 mengindikasikan semakin sengitnya persaingan untuk mendapatkan modal manusia bertalenta mengingat hasilnya akan mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan lima tahun kedepan.
Menanam Pohon yang Dipanen Orang Lain
Penelusuran atas penyebab rasa frustasi itu membawa kepada dua sisi persoalan. Pertama, kesulitan pimpinan puncak untuk menyediakan waktu berkualitas guna mewujudkan Talent Management yang berhasil. Kedua, jurangnya inisiatif manajer SDM untuk selalu dapat menjadikan Talent Management butir prioritas dalam agenda strategis perusahaan. Kesulitan pimpinan puncak dalam menyediakan waktu bermutu terungkap dari keluhan mereka; di kesibukan menjalankan bisnis sehari-hari, mempraktekkan Talent Management adalah seperti tiba-tiba menyetop mereka dari pekerjaan yang justru membuatnya akan diimbali.
Harus diakui, berbeda dengan menerapkan Marketing Management, Financial management atau Operational Management yang bisa segera terlihat hasilnya, Talent Management membutuhkan waktu yang panjang. Apalagi bila ternyata jangka waktu itu seringkali melampaui periode jabatan seorang manajer; mempraktekkan Talent Management terkesan identik dengan menanam pohon yang buahnya akan dipanen orang lain. Jadi, bukan sebuah kebetulan bila perusahaan-perusahaan yang pimpinan puncaknya bisa menjabat lebih dari sepuluh tahun, misalnya General Electric, selalu dijadikan rujukan praktek Talent Management yang berhasil.
Cara pandang diatas ternyata berlaku sama di kalangan manajer lini. Akibatnya, secara praktis Talent Management di sebagian besar perusahaan dianggap hanya tugasnya manajer SDM. Pimpinan puncak serta manajer lini hanya akan mengambil bagian secara impulsof; pada saat membutuhkan SDM. Pemberlakuan cara pandang jangka pendek bahkan instant terhadap Talent Management bahkan bisa semakin kuat pada perusahaan-perusahaan yang telah melakukan investasi besar-besaran dalam sistem dan proses manajemen SDM-nya.
Kurangnya inisiatif manajer SDM dalam menjadikan Talent Management prioritas strategis dinyatakan oleh 58% manajer lini yang disurvey meski dari pihak SDM hanya 25% menyatakan hal yang sama. Contoh pernyataan manajer lini: “yang kami lihat manajer SDM bekerja hanya untuk pimpinan puncak, tidak seorangpun mengenal dia, dan pantas-pantas saja bila dia tidak tahu siapa dan dimana keberadaan modal manusia bertalenta itu. Sebaliknya manajer SDM mengatakan: “kami selalu mendapatkan permintaan yang tiba-tiba dari pimpinan puncak. Akibatnya kami sangat bergantung pada sistem yang ada untuk memebuhi permintaan itu.
Talenta Produktif di Lingkungan Kondusif
Memang tidak semua praktek Talent Management membuahkan pengalaman buruk. Berikut adalah catatan pengalaman sejumlah kecil perusahaan yang berhasil. Mereka telah sampai pada pemahaman bahwa modal manusia bertalenta hanya akan produktif bila bekerja dalam lingkungan yang kondusif. Untuk itu perlu dibangun dua jalur karier khusus di samping jalur karier standar yang ada. Jalur pertama untuk karyawan “kelas A” dan jalur kedua untuk para spesialis misalnya staf R&D.
Sifat “kutu loncat” dari Generasi Y (baca: yang selalu bertanya : “Why, why, why?”) ternyata bisa diredam cukup efektif melalui pengelolaan jejaring sosial khusus oleh dan untuk mereka. Variasi lulusan perguruan tinggi negara sedang berkembang justru dilihat sebagai sumber tenaga lokal terdidik untuk membangun basis pasar golongan masyarakat kelas menengah di negara itu. Juga tidak tertutup kemungkinan bahwa di masa depan tenaga ini dapat dipindahkan ke negara lain yang memiliki ciri-ciri pasar yang sama.
Untuk mewujudkan Talent Management yang berhasil ternyata dibutuhkan kesadaran baru dan upaya kerja sama yang berkelanjutan dari kedua belah pihak, pimpinan puncak beserta manajer lini dan manajer SDM. Berangkat dari kesepakatan bersama bahwa SDM adalah faktor “strategis”, yang artinya menentukan kelangsungan hidup perusahaan, pimpinan puncak beserta manajer lini harus memegang teguh prinsip bahwa setiap pemimpin bertugas mengembangkan kapabilitas semua karyawannya, membangun karier mereka, danmengelola kinerja baik individu maupun tim.
Sebaiknya, manajer SDM perlu meningkatkan kemampuannya menerjemahkan kebutuhan kebutuhan bisnis menjadi strategi yang mengelola modal manusia bertalenta. Mereka harus menjadi “jembatan” antara karyawan pada umumnya dan pimpinan puncak beserta manajer lini. Keberpihakan dalam mengedepankan nilai setiap karyawan menjadi bagian tak terpisahkan bila ingin mewujudkan organisasi berbudaya manusia dan bukan berbudaya mesin. Tanpa kemampuan dan keberpihakan ini sulit rasanya membayangkan bahwa manajer SDM akan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan manajer-manajer fungsi lain. Akhirnya apabila semua itu masih belum cukup, masih tersedia sebuah pilihan lagi. Bila saat ini pimpinan puncak boleh berdalih bahwa mereka tidak memiliki waktu untuk Talent Management, pada waktu lengser nanti mereka sebaiknya diberi jabatan manajer SDM. Pada saat itulah dapat dipastikan mereka akan memiliki waktu yang bermutu.
Sammy Kristamuljana, Guru Besar Manajemen Stratejik, Ketua Prasetiya Mulya Business School.
Sumber: Majalah Forum Manajemen vol XXv no 04. Juli -Agustus 2011
gambar: halogensoftware.com
Keep Talent Management Strategic