Jemput Impianmu 2, lanjutan bagian sebelumnya.
Pernah di suatu kesempatan, semua siswa di kelas di minta maju satu per satu untuk mengutarakan cita-cita. Ketika giliran saya maju, kalimat mantra itu saya ucapkan dengan lantang, “Nama saya Jamil, saya ingin jadi insimyur pertanian”. Kontan semua teman sekelas menertawai saya. Ada yang mengolok,”Anak orang miskin kok mau jadi insinyur pertanian, ora mungkin… ora mungkin.” Bahkan guru saya juga menasehati,”Jamil, kalau membuat cita-cita jangan tinggi-tinggi. Kalau terlalu tinggi nanti ‘bagai pungguk merindukan bulan’.”
Sampai jam istirahat tiba olokan itu belum juga berhenti. Karena kesal, kepalan tangan saya melayang ke muka teman yang mengolok. Melihat kejadian itu, beberapa teman lain ingin mengeroyok saya. Saya pun berlari ke lapangan sepak bola di sekolah itu sekencang-kencangnya. Tiba-tiba ada rasa dingin dan pusing di kepala. Ada darah meleleh di bagian kepala sebelah kanan. Rupanya salah seorang teman melempang sebatang bambu ke arah saya. Saya merasakan sakit yang luar biasa. Saya terus menangis. Setelah hari itu sampai dua pekan kemudian, saya tak mau masuk sekolah. Selain karena saya sakit di kepala, saya takut bertemu teman-teman sekolah.
Di rumah, kedua orang tua saya selalu membesarkan hati saya. Keduanya kerap mengusap kepala dan memeluk saya sambil menasehati. Yang paling saya ingat dari nasehat itu, “Kamu jadi insinyur pertanian atau tidak itu tergantung kamu. Ayo buktikan kepada semua orang yang mengolok-olok kamu bahwa kamu bisa jadi insinyur pertanian. Kita sudah miskin harta, jadi jangan sampai miskin cita-cita.”
Setelah hari itu, orang tua saya sering mengenalkan saya kepada orang dengan mengatakan,”Ini anak saya, calon insinyur pertanian.” Kebiasaan ini terdengar oleh telinga teman-teman sekolah saya. Mereka juga sering menyapa saya dengan: “Hai insinyur pertanian!” meskipun saya tahu makna yang keluar dari mulut orang tua dan teman saya itu berbeda, saya tak peduli. Semua kata itu saya anggap sebagai dukungan moral. Dan ternyata benar. Magic word itu ampuh. Tentunya dengan doa dan dukungan orang tua yang tak pernah putus. Akhirnya saya berhasil tembus ke Institut Pertanian Bogor. Insinyur pertanian tinggal selangkah lagi.
Selain menuliskannya di buku tulis, saya juga menempelkan “mantra” itu di dinding kamar kos. Lagi-lagi impian saya dilecehkan. Komentar berdatangan. Kali ini teman-teman satu kos dan kuliah berkomentar,”Mil, wajahmu tidak fotogenik. Tampang kurang keren. Rambut jabrik. Matamu Garfield. Indeks prestasi pas-pasan. Nggak mungkin kamu bias muncul di TV, Koran atau majalah.” Ini komentar yang paling membekas. Tapi impian hidup itu tetap saya biarkan tertempel di dinding kamar.
Seiring waktu, kini saya menyadari bahwa impian hidup punya kekuatan dahsyat. Sekarang saya sudah menyandang gelar insinyur pertanian. Saya pun menjadi dosen tamu di beberapa perguruan tinggi di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta dan Semarang. Selain itu, saya juga menjadi “guru” di berbagai perusahaan swasta, BUMN, instansi pemerintah, dan lembaga nirlaba di dalam serta luar negeri. Trainer adalah nama lain “guru” bagi orang yang mengajar di perusahaan. Tidak hanya itu, saya bersama kakak kandung saya, Mas Kaolan, mendirikan sekolah di kampung yang memiliki lebih dari seribu siswa.
Sekedar mengaitkan impian ketika kuliah dengan kenyataan sekarang, sejak tahun 1998 saya pun sering muncul di stasiun televisi dan radio. Tulisan dan wajah saya juga sudah menghiasi berbagai media massa nasional. Impian saat kuliah sudah saya capai.
Tapi saya tak berhenti bermimpi. Satu impian tercapai, saya segera membuat impian hidup baru. Saya berupaya keras agar impian hidup itu menjadi nyata. Kini, saya sedang menjemput impian hidup saya yang baru. Tanda-tanda terwujudnya semakin terasa nyata. Begitu mimpi itu benar-benar nyata, tentu saya akan menuliskan mimpi baru yang lebih menantang. Begitu seterusnya, saya tak akan pernah berhenti menulis dan mengejar mimpi hidup sebelum raga ini terbujur kaku.
Kini sudah sekian puluh tahun lebih kejadian itu berlalu. Suatu hari, di hari ulang tahun saya yang ke 39, sengaja saya pandangi foto saat saya wisuda dulu. Sambil tersenyum, saya meraba kepala bagian kanan. Saya merasakan ada “pitak” (bekas luka di kepala) di sana. Ya, “pitak” yang saya raba itu adalah “pitak insinyur pertanian.” Pitak itu bukti atas kekuatan sebuah mimpi (cita-cita).
Membuat magic word bukan sekedar mengangankan cita dan impian hidup. Ia menjadikan hidup kita terarah, meski mungkin harus melalui jalan yang sulit dan berliku. Tulislah impian hidup Anda sekarang juga. Biarkan orang lain menertawakan, toh yang menetukan hidup kita bukan mereka. Masa depan kita ada di tangan kita sendiri.Apa impian hidup Anda? Tuliskan sekarang juga!
sumber: Jemput Impianmu, dalam buku Sukses Mulia Story, Gramedia Pustaka Utama, 2008
gambar: magic4walls.com
Jemput Impianmu