Gaya Kepemimpinan Ideal Masa Kini

Gaya Kepemimpinan Ideal Masa Kini

Gaya Kepemimpinan Ideal masa kini – post covid – mulai banyak dicetuskan. Tentu saja ini mengarah kepada satu orang: pemimpin. Pemimpin digambarkan sebagai sosok yang kuat dan karismatik. Setidaknya itulah stigma yang berlaku di dalam masyarakat saat ini. Penggambaran ini menunjukkan bahwa pemimpin tak boleh memiliki sifat cela yang terlihat dengan jelas. Pemimpin harus menunjukkan kekuatannya serta otoritasnya yang mutlak di hadapan pengikutnya. Pendekatan seperti ini lebih bersifat top-down, artinya pemimpin harus diikuti dan mereka punya segala solusi. Pertanyaannya, bagaimana jika tipe kepemimpinan seperti itu sudah usang di masa kini?

Jika mempertimbangkan konteks zaman, lingkup permasalahan, dan kondisi generasi, sudah banyak sekali yang berubah. Terlalu banyak aspek yang tidak bisa dilihat oleh pemimpin, namun sebagian terlihat jelas oleh pengikutnya. Konsekuensinya, tidak hanya pemimpin yang bisa menjadi seorang solutor (pemberi solusi), tetapi anggota dan tim juga demikian. Oleh karena itu, dibutuhkan pemimpin yang humble sebagai motor penggerak organisasi.

Kebanyakan pemimpin tak berani untuk mengakui kelemahan serta kekurangannya di hadapan para pengikutnya. Itu sah-sah saja, tetapi semakin lama, kekurangan yang seorang pemimpin miliki akan terekspos juga. Tinggal, bagaimana caranya dan dalam kondisi apa kekurangan dari seorang pemimpin itu terekspos di hadapan anggotanya. Dibutuhkan keberanian besar untuk mengakui bahwa pemimpin tidak tahu semua hal. Pemimpin tak mampu menyediakan semua jawaban bagi masalah yang terjadi di lapangan. Karena itu, diperlukan gaya kepemimpinan ideal masa kini.

Mengakui hal itu sangat sulit, terutama dengan stigma yang berlaku di masyarakat bahwa adanya keengganan pemimpin menunjukkan kelemahannya. Tetapi, dalam kondisi dan permasalahan saat ini, keberanian untuk mengakui bahwa pemimpin penuh dengan keterbatasan sangat dibutuhkan. Itulah kualitas sekaligus ciri dari seorang pemimpin yang humble. Mereka tak segan-segan untuk mengomunikasikan apa yang menjadi kekurangannya. Pemimpin seperti itu berani untuk mengungkapkannya kepada anggotanya dengan risiko bahwa bisa jadi anggotanya akan memandangnya sebelah mata. Namun, pemimpin tersebut tetap melakukannya karena dia ingin membangun hubungan yang dekat dengan anggotanya. Hal itu dimulai dari diri mereka sendiri.

Terbukanya akses informasi membuat semua lebih transparan dalam ranah pekerjaan. Praktik ‘humble leadership’ memungkinkan proses pekerjaan lebih terbuka. Berkurangnya sekat komunikasi jalur formal yang selama ini menjadi momok penghambat komunikasi dalam organisasi. Pendekatan kepemimpinan ini juga efektif dalam pemberdayaan karyawan menjadi lebih maksimal. Pemimpin berperan sebagai mentor dan coach dalam membantu anggota tim mencapai tujuan kerjanya.

Humble Leadership dalam Kehidupan Sehari-hari

Humility  atau kerendahan hati merupakan bahan dasar utama kepemimpinan masa kini. Di saat semua berjalan sangat cepat dan penuh dengan ketidakpastian, dibutuhkan kesadaran bahwa kita adalah makhluk yang penuh dengan keterbatasan dan tidak mampu melakukan segala sesuatunya sendirian. Kata lain dari rendah hati ialah ‘tahu diri’, sadar diri apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan diri. Tahu diri atas apa yang dikuasai, diketahui dan dimiliki bukan semata-mata bisa memperlakukan orang sesuai kehendaknya.

Suasana yang mencekam dan menakutkan dalam bekerja sangat dihindari dalam atmosfer bekerja saat ini, baik diinstansi formal seperti kementerian dan lembaga pemerintahan, maupun swasta. ‘Humble Leader’ tidak hanya sebagai atasan yang berpaku pada ‘doing the things right’, namun ‘doing the right things’ dengan memberikan ruang bertumbuh, dukungan emosional dan moral untuk anggota timnya. Pemimpin yang rendah hati disiplin dan konsisten 24 jam dalam memperlakukan timnya dengan baik. Mempraktikkan rasa hormat tanpa memandang jabatan dan peran dalam pekerjaan.

Pemimpin yang rendah hati akan menyadari keterbatasan serta kemampuan dirinya. Ini berarti ia telah memosisikan diri sebagai pribadi yang terbuka dengan perubahan, mau mendengar masukan, dan selalu belajar dari siapa saja termasuk bawahannya.

Nitin Nohria, seorang akademisi Hardvard Business School menyebutkan, ada tiga jenis humility yang perlu dimiliki oleh pemimpin masa kini apabila ia ingin menjadi pemimpin yang efektif serta berdampak.

Pertama adalah intellectual humility. Ini berarti menunjukkan betapa cerdas dan berilmu seseorang, ia tetap membuka diri untuk belajar berbagai hal baru. Dari, dengan, dan kapan saja. Kedua adalah moral humility. Moral humility adalah sikap terbuka terhadap pencapaian orang di sekitar dan tidak merasa ekslusif dengan kelebihan diri sendiri. Misal, kebesaran hati kita untuk memberikan apresiasi terhadap pencapaian serta prestasi kerabat di kantor.

Terakhir adalah personal humility yang berarti kemampuan seorang pemimpin mau berbagi ‘panggung’ dengan orang lain. Dalam arti kata, pemimpin tidak selalu memosisikan diri sebagai pusat perhatian, tidak narsis berlebihan serta mempunyai manajemen ‘self entitlement’ yang baik. Tidak selalu merasa berhak terhadap sesuatu yang spesial.

Pemimpin yang memiliki kerendahan personal ini tidak selalu menganggap bahwa dirinya harus dilayani, dihormati atau disegani hanya karena memiliki kuasa, tahta dan jasa kebaikan tertentu. Bahkan pemimpin seperti ini cenderung membiarkan orang lain dulu untuk berbicara mengemukakan pendapat daripada dirinya sendiri.

Membangun Hubungan Emosional

Di dalam buku Humble Leadership: The Power of Relationship, Openness, and Trust karya Edgar dan Peter Schein (2018), terdapat empat tingakatan hubungan antara pemimpin dan anggota. Berikut adalah penjelasannya:

Pertama, pada level minus 1, dominasi pemimpin sangat kuat ditambah dengan praktik koersif dalam memimpin. Kedua, di level 1, mulai ada peningkatan hubungan walaupun hanya sebatas transaksional dan dalam bentuk hubungan pertolongan profesional. Dan di level 2, mulai tumbuh hubungan kepercayaan seperti dalam pertemanan dan tim yang efektif. Lalu pada level 3, mulai terlihat komitmen yang intim secara emosional.

Kedua adalah tuntutan bahwa anggota harus diberikan ruang untuk berdaya, berkarya, serta bermakna. Ketiga, secara implisit, survei di atas menunjukkan akan pentingnya untuk membangun komunikasi yang sehat dan konstruktif kepada anggota. Dan yang terakhir adalah, dari perasaan emosi ini dan juga keinginan milenial, mereka ingin dekat dengan pemimpin secara emosional.

Maka dari itu, awal mula untuk menjadi pemimpin yang humble adalah kerelaan untuk membuka keran komunikasi yang konstruktif kepada anggotanya. Beri ruang sebebas dan sebanyak-banyaknya agar anggota merasa bahwa mereka bisa mengomunikasikan permasalahan mereka di dalam lingkup pekerjaan atau personal. Terkhusus untuk generasi saat ini yang menginginkan adanya work-life balance.

Pendekatan kepemimpinan yang menerapkan gaya humbe leadership sangat relevan dengan keadaan saat ini. Apalagi dengan menantinya perubahan di depan serta segudang permasalahan lainnya serta kondisi yang tak pasti akan menuntut seorang pemimpin untuk dapat lebih adaptif dan terbuka terhadap keadaan. Menjadi sosok pemimpin yang memiliki gaya humble leadership  merupakan figur idaman seorang pemimpin masa kini yang diinginkan serta dibutuhkan oleh generasi penerus.

sumber artikel Gaya Kepemimpinan Ideal Masa Kini: kompas Gambar: iberdola

Leave a Reply

Your email address will not be published.